Page 18

352 39 0
                                    

Nama : Eza
Umur : 24 tahun
Status: Single

Berkat kematian Nisa maka lantai untuk dijelajahi bertambah pula. Lantai ke empat telah terbuka, aku sudah menelusuri seluruh ruangan itu, hanya terdapat beberapa kelas, kelas normal maksudnya.

Sudah dua hari sejak kematian Nisa tapi kami belum juga berani mengambil sebuah tindakan. Yang membunuh Nisa jelas-jelas adalah Alcander sang top commander, itu pun berkat terpecahkannya kode sulit di pesan kematian milik Nisa, kode itu bertuliskan 'LEADER' pemecahan kode itu menggunakan sandi angka dengan kunci 26.

Nisa yang ahli dibidang obat-obatan itu meninggal akibat racun yang ditemukan di gudang senjata, kemungkinannya apa lagi coba selain Nisa meminum sendiri racun itu. Di tubuhnya tidak ditemukan bekas luka apapun, bahkan alat suntik tidak ditemukan di penjuru bangunan ini.

Aku sedang berada di kamarku sendiri, duduk di ranjang sembari menatap jendela yang dilapisi besi. Memutar buku catatanku, memang hanya buku ini barang selain pakaian yang milikku pribadi. Sisanya mau tidak mau kami harus bergantung pada barang yang di siapkan Jacob.

"Sudah dua puluh delapan hari ya...."

Apa yang sebaiknya aku lakukan saat ini? Membawa senjata dan bertanya langsung pada Alcander? Atau berbicara pada T7 untuk merencanakan penangkapan Alcander? Kalau kudeduksikan kasus ini, tidak mungkin Alcander membunuh begitu saja. Selain dia adalah ketua kepolisian, otaknya juga bukan otak anak SD.

Selama satu hari penuh ini kami melakukan penyelidikan diam-diam, polisi sehebat Alcander tidak mungkin hanya tinggal diam, apalagi di kamarnya tersebar segala senis senjata tajam, berbahaya kalau nekat.

Alhasil aku berjalan menuju kamar Didi. Secara tidak sadar kami sudah membuat kamar Didi sebagai markas dadakan kami selama 28 hari ini. Selain Didi tidak mengeluh Rusnade juga selalu memandang Didi. Pelampiasan katanya.

"Ehh Di, lo gak merasa aneh apa?" Ucapku sambil menunjuk pada Rusnade, tuh anak mulai kambuh lagi penyakitnya.

"Biarin aja lah Za, kasian kan dia gak bisa nonton yang beginian pake mbah Google lagi." Balas Didi. Dia sekarang hanya mengenakan celana pendek dan kaos tentara, dapat di lemari yang di sediakan Jacob sepertinya.

"Yee Eza, kalo mau ikut liat gak usah malu-malu kali." Sindir Rusnade, "Lo sih enak udah nyicipin tubuh perfecnya Didi."

Bak...

"Sialan lo!!"

"Tambah jahat ih si Didi...." Keluh Rusnade sambil mengelus-elus jidadnya yang terkena lemparan buku Didi.

"Makanya kalo mau menikmati pemandangan gratisan gini yang tenang dong." Giliran Hata yang berucap.

"Gila..." Aku terkejut saat menatap Hata, air liurnya sudah mengalir banyak.

"ssttt.... Ada yang butuh pelampiasan tuh, hahahaha...." Rusnade tertawa kecil sambil memasang muka mesum.

Zahra memasuki ruangan dengan hanya mengenakan handuk. "Tenang aja lo Hata, mala mini ada service khusus buat lo." Dia mengedipkan mata.

Dan seketika itu pula handuk yang dikenakan Zahra terlepas sehingga membuat aku, Rusnade, dan Hata mimisan parah sampai pagi, ekspetasinya anggaplah begitu.

Di pikiran Rusnade ; Zahra yang melepaskan handuknya membuat Didi merasa tertantang, tubuhnya memanas. Akhirnya Didi menanggalkan semua pakaiannya. Didi dan Zahra secara bergantian memijat tubuh Rusnade hingga dia puas dan...

"Hai kalian."

DEG!!

Semua pikiran yang menguasai kepala kami langsung lenyap begitu saja, kegembiraan yang terpancar di wajah kami turut lenyap. Bagaimana tidak, Alcander sendiri yang mendatangi kami.

"Mohon maaf, bisa handuknya di kenakan kembali." Ucap Alcander yang wajahnya memerah.

Secara serempak pandangan kami kembali mengarah ke Zahra, wajahnya bagitu merah, secepat kilat dia mengambil handuknya lalu berlari memasuki WC.

Lagi, pandangan kami mengarah pada Alcander yang terbatuk-batuk membuang malu. "Jadi, apa yang membuat kau ke sini?" Tanyaku.

"Ada yang ingin di bicarakan." Ucap Alcander dengan formal lalu berjalan dan duduk di sofa. Dia mengeluarkan sebuah buku yang bertulisan 'catatan kepolisian'

Kami menyusulnya duduk di sofa, kecuali Didi yang masih memasang posisi hot di ranjang. "Pembicaraan seperti apa?"

Sepertinya pembicaraan ini memang cukup penting, dilihat dari wajah Alcander yang kelebihan serius itu, padahal habis melihat seorang cewek telanjang.

"Menurut deduksiku, kalian menemukan beberapa bukti yang membuatku menjadi tersangka." Alcander membuka buku catatannya lalu memperlihatkan sebuah surat.

"Bukan bukti, tapi kenyataan." Balas Hata yang sudah mulai panas.

"Memang, tidak bisa dipungkiri, aku lah yang telah membunuh Nisa. Aku menggunakan racun yang tersembunyi di gudang senjata untuk meracuninya." Tempo suara Alcander melambat.

"Kami sudah tau!!" Didi yang menyahut.

"Silahkan baca surat ini." Alcander menyerahkan selembaran yang dikeluarkannya.

Kertas itu. Sama seperti sobekan yang aku temukan di kamar Nisa, tapi yang ini isinya berbeda. Lebih seperti undangan yang mengajak Alcander.

"Ketua, aku menemukan dalangnya. Datang ke aula tepat setelah aula terbuka, Cuma kita berdua." Kubacakan surat itu dengan keras.

"Aneh ketua." Aku menyerahkan kepadanya surat yang kudapat di kamar Nisa.

"Sudah kuduga. Harusnya semua ini sudah berakhir dengan kematian si dalang." Alcander manggut-manggut.

"Tunggu-tunggu.... Apa maksudnya itu?" Tanya Rusnade penasaran. Begitu pun yang lain, kami semua penasaran dengan yang diucapkan Alcander.

"Aku akan menceritakannya. Kalian semua adalah detektif yang hebat, kalian bisa memecahkan sesuatu dengan mudah bila kalian menganggap sesuatu itu adalah musuh. Tapi apa tidak terfikir oleh kalian kalau yang menyebabkan ini semua adalah teman kalian?" Jelas Alcander secara singkat. Aku jelas paham dengan perkataannya tapi aku masih sulit mempercayainya.

"Nisa adalah Jacob?"

"Bukan hanya itu. Kalau saja detektif hitam ini menganggap semua adalah musuh, aku yakin. Dalang di balik semua ini akan cepat terungkap. Sejak pertama kita di bangunan aneh ini aku tanpa sengaja sudah banyak mewawancarai semua orang di sini. Seperti yang kalian tau, aku mampu membaca kebohongan dari pergerakan otot-otot wajah. Nisa adalah kecurigaan terbesarku."

"Lalu? Karena kau curiga kau membunuhnya?"

"Bukan begitu, kecurigaanku terbukti saat Nisa mengajakku bertemu di aula utama. Yang membuatku berfikir dia adalah dalangnya adalah dia mengirimkan surat ini dua hari sebelum modus terakhir kita."

"Secara tidak sadar dia mengatakan kalau dia tau jalan cerita si Jacob ini."

"Benar detektif hitam."

"Lalu kenapa kita masih di sini?"

"Aku menduga kalau bagunan ini dijalankan secara offline."

See you in page 19

TERORIS 7 (Completed)Where stories live. Discover now