Pitu

6.1K 556 44
                                    

"Jadi lo butuh gandengan buat kondangan?" Lindu tak percaya Na menemuinya hanya untuk hal semacam ini. Setelah apa yang terjadi malam itu, keduanya tak saling bertemu juga tak berusaha mencari satu sama lain. Sampai akhirnya si emak ngamuk karena Na masih belum punya gandengan bakal kondangan kawinan si Bokir.

Na tak punya pilihan, tak mungkin ia ngajakin Pandu atau Hans yang jelas malu-maluin. Terpaksa ia mencari Lindu-dengan bantuan suami Kak Mariyah dan menemukan pria itu asyik molor di pinggir sawah.

Hari itu ia tiga kali bongkar muatan, tiga kali juga ia diajak makan bareng orang-orang yang kerja di sawah. Maklum musim panen. Perutnya bengah, kebanyakan makan, jadilah ia menunggu ajal sambil tiduran.

"Ogah," tolak Lindu, balik molor lagi sebelum akhirnya ditarik paksa Na bangun. "Kalau cuma gandengan mana enak." Muka mesum Lindu langsung membuat Na mual.

"Ya sudah." Na tak ambil pusing dan langsung pamit pergi.

"Hei!" Lindu berteriak memanggil Na. Membuat si gadis tak jadi menyalakan motor matinya.

"Apa?"

"Lo langsung balik gitu aja?"

"Trus? Gue harus apa? Sepongin kontol lo sampai lo bilang mau. Najis!"

"Siapa yang minta sepong? Lu bisa bawa mobil kan?"

"Sakit jiwa, mana kuat gue bawa mobil, motor aja tiap hari gue naikin."

Mulut Na macam habis dicabein, pedes bin ngeselin. Lindu cuma minta Na menggantikannya ambil jemput orang di tempat si Tigor bukan atraksi sirkus narik mobil pakek gigi. Sebagai imbalannya dia rela jadi gandengan Na saat kawinan si Bokir.

"Siniin, alamatnya," masih tetep jutek.

Bukannya kasih alamat Lindu malah naruh tangannya di kening Na, "ngga panas," si abang malah kurang ajar narik dagu Na, "lo dah lama kagak dientot ya?"

Na makin sewot, ia menyumpahi mobil Lindu masuk jurang.

"Kalau sampai mobil gue masuk jurang, lo yang mati pan lo yang bawa," Lindu ketawa kurang ajar. Tak peduli umpatan Na yang membabi buta dan jadi tontotan.

***

Hujan di bulan Maret tak pernah sungkan bertandang. Memberi kesan romantisme yang sulit dijabarkan. Beberapa orang menengadahkan tangan, mengingat cinta yang tak sampai, sisanya mengumpat, ingat jemuran.

Lain halnya dengan Na yang sibuk ngelapin kaca. Mobil tua itu tak memberinya kesempatan bernapas lega. Embun yang menempel di kaca depan menyusahkannya melihat jalan. Sepi, tak ada satu kendaraannya, tapi bukan berarti ia bisa dengan mudah mengendarai mobil pick up dengan muatan selusin emak-emak pulang dari sawah.

Mereka memiliki pilihan untuk berhenti dan berteduh, tapi itu sama saja dengan buang-buang waktu. Lima menit lagi juga sampai, ia hanya harus membantu para emak-emak pejuang membentangkan terpal lalu kembali pegang roda kemudi.

"Haciiih..." Na bersin, bagusnya keluar. Kehujanan bikin sinusnya kumat.

Perempuan itu tak peduli ia hanya butuh menarik kerah kaos yang dipakai buat lap. Tak akan ada yang peduli saat semua orang tiba-tiba diserang rasa rindu berat akan rumahnya. Seakan-akan ada yang hendak mencuri rumah mereka.

"Makasih ya, dek!" Teriak seorang di antara penumpang Na. Sisanya kabur sebelum hujan makin lebat.

Mereka meninggalkan terpalnya begitu saja. Membuat Na harus repot turun dan menyimpan benda jelek itu sebelum angin menerbangkannya.

***

"Mana gue tahu lo bakal bengek," ucap Lindu di antara rasa bersalahnya.

Na tak peduli, ia pasrah tiduran setengah telanjang dengan posisi tengkurap. Di belakangnya Lindu sibuk ngerokin pakai duit koin. Coba yang dipakai duit gedean dikit, seratus rebu misalnya, pasti langsung sembuh.

Lindu berkilah kalau duit segitu bukan buat kerokan, tapi buat kompres jidat. Na ngakak sampai pengen nangis. Hidungnya terus berair. Ia butuh bed rest total seminggu. Maklum lagi isi ... isi angin.

"Pakai bajunya, gue bikinin teh sebentar."

"Yang panas," tawar Na. "Sekalian sama nasi, gue laper."

"Mie aja ya, gue kagak punya beras."

***

Teh panas, kopi item, dua piring mie instan dengan campuran telur setengah matang dan potongan cabe yang banyak, lengkap pakai kerupuk. Na seperti melihat surga dunia. Terlebih saat uap mengepul dan menghantarkan bau makanan ke perutnya yang kosong sejak pagi. Jika ia mati hari ini juga, ia tak akan minta lebih.

"Lo tinggal sendirian," ujar Na di sela acara makan mereka yang begitu khitmad.

Kosan Lindu terletak masuk gang, diapit kebon. Cuma ada dua ruangan dalam satu rumah, kamar mandi terpisah deket sumur. Na saja harus nimba dulu kalau mau kencing. Ruang depan penuh rongsokan-menurut Na, ia tak tahu apapun fungsinya yang menurut Lindu sangat berharga. Semacam bengkel. Ruang belakang dipakai tidur dan dapur. Itupun cuma buat kopi sama mie. Di depan rumah ada dua mobil berukuran besar, satu pick up, dan beberapa motor yang tergeletak begitu saja.

Saat Na tanya apa tak takut dicuri, Lindu hanya memamerkan Lesung pipinya, "tak akan ada yang berani."

"Memangnya lo siapa? Tuan takur? Tanah saja tak punya," ejek Na sambil menyesal teh miliknya.

"Lo mo tahu siapa gue?"

"Kagak," bohong, sebenarnya dalam hati Na penasaran siapa Lindu. Kenapa ia tinggal di tempat yang bobrok, tapi juga begitu disegani. Apa mungkin dia residivis kambuhan?

"Lo pernah masuk penjara?"

"Ya."

Mata Na mendelik tak percaya dengan jawaban Lindu yang begitu mengalir. Pria itu bahkan mengatakan bagaimana ia ditangkap karena maling ayam ditahun baru. Saat digerebek ia tengah berpesta bersama teman-temannya tentu dengan barang bukti ayam yang sudah jadi sate.

"Kenapa lo bego?" Na tertawa, "beli aja di pasar, banyak." Lanjutnya masih memegang mangkok yang sudah kosong.

"Mana kami tahu, kami kira ayam itu bawaan salah satu teman kami."

Sebagai hukuman Lindu memang dibui, tapi cuma semalam itupun hanya sebagai peringatan.

"Waktu itu lo umur berapa?"

Lindu coba mengingat, sayangnya ia sudah lupa. Ia hanya ingat saat itu Uti masih ada dan menjemputnya di kantor polisi.

"Kenapa gue ngga ingat Uti punya anak angkat?"

"Lo masih bayi, bapak lo juga masih idup."

"Jadi lo pernah ketemu almarhum bokap?" Ada nada getir di suara Na.

"Ya," jawab Lindu sedikit menyesal.

"Apa dia orang baik?"

Mata keduanya bertemu, Lindu seakan bertanya apa Na benar-benar ingin dia berkata jujur.

"Katakan saja, toh ia sudah mati."

Lindu menolak bicara, baginya masa lalu sudah berlalu toh Na sudah hidup bahagia dengan keluarga barunya. Ibarat iklan sirup di bulan ramadhan, keluarga Na adalah cerminan keluarga penuh kehangatan. Di mana sang ibu selalu ada di rumah menyiapkan hidangan berbuka dan ayah yang menyemangati anaknya untuk terus berbuat baik.

Ayah yang bukan ayah kandungnya, pria yang dikawini sang emak saat ia beranjak dewasa. Tanpa Lindu berceritapun ia sudah tahu bapaknya bukan orang baik. Pria itu tak pernah mencintai ibunya. Mereka kawin hanya karena terlanjur hamil di luar nikah.

***

Harusnya semalam update, maafkan.

Didedikasikan buat AmalAliya yang dua kali update tan selalu jadi voter pertama

Makasih cinta

SijiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang