Enam

7.5K 581 61
                                    


Na berbalik, meringkuk dengan bantalan tangan dan menatap Lindu, "apa itu benar?"

"Lo kira gue lagi nyari simpati." Lindu melakukan hal yang sama, berbalik, meringkuk dengan bantalan tangan, dan keduanya saling menatap.

"Mungkin saja."

"Untuk apa?"

"Cuma lo dan Tuhan yang tahu."

Pria itu terkekeh. Na tak bisa melihat dengan jelas dalam gelap, tapi mendengar tawa itu lesung pipi yang cuma sebelah terbayang di matanya.

"Lo tahu," Lindu mendekatkan wajahnya, napas beraroma panas terasa jelas, menggelitik dan memabukkan di saat yang sama. "Apa yang terjadi malam ini?"

Na tak sempat bertanya apa yang akan terjadi. Lindu membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman. Mulut pria itu bergerak rakus, rasa lapar yang teramat sangat dan sulit dipuaskan.

"Sial, apa harus lo pakai dua baju sekaligus?" Lindu mengumpat saat menarik ujung kaos Na dan tak mendapatkan apa yang ia harapkan.

Tak tahu diri, sebagai wanita ia malah mengikuti hasratnya. Bukannya membela diri dan lari sebelum diperkosa.

Ia menarik kepala Lindu dan balas menciumnya. Saat tangan yang satu menahan agar si pria tak melepaskan minumannya, tangan yang lain memberi kesempatan lebih untuk menggerayangi tubuhnya.

"Lo pasti nyesel," Lindu memperingatkan.

"Kita lakukan itu nanti, Oppa."

Lindu menyeringai, membuka lilitan sarung dan menunjukkan kejantanannya di depan wajah Na.

Perempuan itu melakukan apa yang harus ia lakukan, menelan sebisa mungkin batang kejantanan si pria. Membuatnya menahan napas, melolong, dan menjerit di saat bersamaan.

Hisapan, pijatan pada buah zakar. Tak ada yang lebih baik dari itu semua. Sampai si perempuan menghentikan aksinya.

"Kenapa berhenti?" Protes Lindu, tak suka dipermainkan.

"Jembut lo masuk hidung gue," Na tak kalah sebal. Menggaruk lubang hidup yang terasa gatal.

Lindu tertawa dan meraih wajah Na, menciumnya kembali menawarkan rasa haus dalam dirinya.

"Lo udah pernah ngentot?"

"Jangan munafik, lo juga bukan perjaka. Berapa banyak cewek yang udah lo entot?"

"Berapapun, lo yang terakhir."

Lindu mulai posesif dan itu menakutkan. Na tak menyukai sifat dasar pria yang satu itu. Ia lebih suka hubungan yang singkat dan saling menyenangkan. Namun, ia bisa berkompromi, hanya untuk malam ini.

***

Dua mahkluk Tuhan saling mengadu kelamin. Menunjukkan sifat asli manusia yang mudah dikendalikan birahi.

Na menelanjangi dirinya sendiri, melakukan penyerahan sepenuhnya tanpa paksaan. Membiarkan Lindu menyentuh setiap inchi tubuhnya tanpa pengecualian.

"Lo suka ini'kan?" Lindu menggoda Na dengan mempermainkan batang kejantanannya di wajah wanita itu. Membuat si perempuan  mengenali aroma sejati dari dalam dirinya. "Lo pengen makan ini lagi apa langsung gue genjot?"

"Tergantung, sehebat apa lo main."

"As your wish, Mam."

Lindu langsung membalik tubuh telanjang perempuan itu dan memasukinya dari belakang. Membuatnya tak memiliki kesempatan untuk menyesal. Hanya teriakan dan desahan yang terdengar dibarengi rintik hujan dan gemuruh petir. Malam masih panjang dan Na tahu Lindu tidak akan puas dengan cepat.

***

Perempuan itu mengurung dirinya dalam kamar mandi lebih lama dari kebiasaannya. Ia menggosok tubuhnya dua kali, menyikat gigi lebih dari sekali, dan keramas sampai botol shampo habis.

Ia harus membuang aroma pria itu dari dirinya. Bukan karena ia menyesal, tapi ia tak mau seorangpun tahu apa yang sudah terjadi. Kalau perlu begitu keluar dari kamar mandi ia akan segera mengusir pria itu.

Sungguh yang terjadi semalam sangat menyenangkan, tapi ia tak suka terikat lebih-lebih pada pria posesif, dominan, dan bla-bla ... apapun itu pasti akan membuat hidupnya kacau.

Na membersihkan sela-sela jari-jemarinya dan menemukan sehelai rambut di ujung kuku. Entah rambut atas atau bawah yang nyangkut, yang jelas itu punya Lindu bukan rambut miliknya yang rontok.

Ia menarik ujung handuk yang menggantung di balik pintu, pada ujung paku yang mulai tua dan berkarat. Ia tak punya pilihan meletakkannya selain di sana. Kamar mandi ini jarang dipakai mandi. Kalaupun ada yang masuk hanya untuk buang hajat besar atau kecil, bisa juga keduanya.

Letak kamar mandi yang berada dekat dapur dan mudah ditemukan membuatnya harus mengendap-ngendap. Sebelum ada orang yang menemukannya setengah telanjang.

"Bisa pinjam handuknya?" Sambut Lindu begitu Na masuk kamar.

"Gue mau ganti baju dulu."

Lindu tak ambil peduli, ia langsung menarik handuk yang melilit tubuh Na dan menyampirkannya di pundak.

"Apa?" Sergah Lindu sebelum Na mulai memaki, "semalem gue udah liat semua." Lanjutnya begitu melihat Na menyilangkan tangan di dada dan mencoba menutupi selangkangannya dengan merapatkan kedua kaki.

Entah setan apa yang semalam nempel di tubuh Na sampai bisa indehoy bareng pria macam Lindu. Pria itu masih dengan sarung yang sama, yang belum ketahuan punya sapa, bertelanjang dada, jalan sambil garukan pantat dan bersiul.

***

"Jadi kenapa pria itu masih di sini?" Embi berbisik dengan mata menelisik, mengintai ke arah Lindu yang sibuk benerin papan nama warung punya Na.

Yang punya warung cuma bisa ngomel sambil pegang sapu. Sisa kerjaan tiga anakan monyet kemaren. Dari tanaman yang tak sesuai pada tempatnya sampai maskot batok kelapa yang lebih mirip jalangkung masuk dalam bak sampah.

"Tidak tahu," Pandu menimpali, "Mbak bilang si abang cuma nganter, tahu ngapain pakek acara nginep." Lanjutnya yang masih setengah sadar.

Semalam mobil pick up yang mereka tumpangi mogok depan kuburan. Embi memaksa dua jejaka itu mendorongnya sampai bengkel yang ternyata sudah tutup. Lebih-lebih dalam keadaan mati lampu total sepanjang jalan. Horor sangat, sampai ia tak bisa tidur dengan tenang. Suara-suara asing dan penampakan yang sebenarnya tak ada menghantuinya.

"Ada yang tidak beres," Embi mulai mengatur siasat dan menyuruh Pandu untuk ikut serta di dalamnya.

Si jejaka menolak, ia beralasan hari ini ada remidi kimia, mau tak mau ia harus ikut. Masa depannya jauh lebih penting dari pada masalah orang.

"Dasar pengecut, apa kau tidak malu. Tiap hari dikasih makan, tapi tak bisa balas budi." Gadis bermata sipit itu mulai berorasi, "bisa saja pria itu sudah beristri dan hendak mempermainkan Mbak. Kau tahukan mbak Ina itu lugu?"

Iya, lugu-lugu bangsat. Kagak tahu aje lu pada semalam ada angin apa sampai satu kamar kena gempa.

"Jadi nama si mbak Ina?" Pandu bego, malah mengubah arah pembicaraan.

"Bukan Ina, tapi Anna." Hans tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan.

"Masak?" Embi ternyata tak yakin dengan dugaannya.

"Kagak tahu juga," Hans malah sebelas dua belas begonya.

"HEI, KALIAN!" Na pegang toa dengan tangan mengacungkan ujung sapu, "INI SUDAH JAM BERAPA? CEPAT BERANGKAT!!"

Ketiganya langsung ngacir berangkat ke sekolah masing-masing. Embi naik motor, Pandu jalan kaki, dan Hans ... nungguin mobil sampah yang biasanya lewat depan sekolah dia jam segini. Hendak nebeng.

"DAN KAU!" nunjuk Lindu yang masih jongkok pegang palu. "Selesaikan pekerjaanmu dan pergi." Nadanya turun dua oktaf lebih lembut.

***

Ada kemungkinan Siji bakal ganti judul jadi "kejar tayang" gara-gara tiap hari selalu update.

Semoga kalian tidak bosan.

SijiOnde histórias criam vida. Descubra agora