Limolas

5.6K 439 34
                                    

Mereka kira perjalanan ke rumah cucu perempuan Mbok Yah akan memakan waktu seharian dan sangat jauh. Nyatanya cuma beda dua rumah ke arah timur. Semua karena ulah Danish yang membangunkan seisi rumah pagi-pagi buta bahkan sebelum mua'dzin  mengumandangkan adzan. Pria itu sudah bersiap dengan rantang tiga susun di tangan, berpakaian necis dengan sangat rapi, rambut klimis berlumuran minyak, dan senyum merekah. Na mulai mikir ini beneran bule apa cuma bulepotan. Ngga ada kerennya, sumpah.

Mana dirinya dipaksa mandi pagi di sumur, saat matahari bahkan belum muncul. Sebel, habis udah dingin juga harus kuat iman. Kamar mandinya kagak berdinding, cuma pakai gedek setinggi dada berkelambu terpal sebagai pembatas dengan atap terbuka.

"Jangan ngintip!" Protes Na pada Lindu yang menampakkan muka di atas batas teritorial kamar mandi dan kebon yang berdampingan langsung dengan kandang kambing.

Si perempuan sudah telanjang dengan rambut basah dan tubuh penuh busa. Sedang mata si lelaki memandangnya takjub. Beh macam kau tak pernah liat Na telanjang saja, Bang.

"Ngentot yuk." Bicara macam ajakan main layangan di lapangan bola. Nyadar ngga kalau keduanya berada di kampung orang dan sah-sah saja kalau akhirnya kena arak warga keliling kampung dengan cap stempel pezina di muka.

Kita main aman saja, bang. Ntar pulang kau boleh garap itu perempuan sepuas hati. Demikian Ra coba memberi pengertian. Sayang tak diindahkan dan si abang terus merayu Na sampai kena siram.

"Kalau masih ngotot gue timpuk lu," ancamnya dengan gayung di tangan.

"Gue kan lagi pengen."

"Besok kan bisa."

"Lama," Lindu memberi alasan dengan nada memelas dan wajah minta dijundu, "kalau ngga buruan ntar punya gue sakit." Lanjutnya minta dikasihani.

Dahi Na mengernyit tampak sedang berpikir lalu mengusulkan sebuah ide, "di tas gue ada minyak urut lo pakek aja itu."

Aha! Idenya sungguh kampret. Kalau bukan karena Ki Wiryo nongol dengan terbatuk-batuk sudang pasti Na bakal diperkosa. Ia selamat tapi tak akan bertahan lama. Burung si abang butuh kasih sayang dan itu hanya bisa di dapat dari empotan memek perempuan.

***

Cinta mengubah segalanya, mungkin hanya kata-kata ini yang bisa memberi sedikit pencerahan. Cara pandang seseorang bisa berubah haluan dengan tanpa permisi. Danish yang dulunya sok play boy mendekati gadis dengan terang-terangan dan semaunya, kini harus belajar sopan santun dan tata krama terlebih dahulu. Sebelum Farida nongol depan pintu ada orang tuanya yang menghadang jalan sang fakir cinta.

"Mau apa kamu datang kemari?" Si kumis menggertak, berdiri tegak di depan pintu rumah.

"Mengantar tamu," jawabnya sembari menyodorkan pajak kunjungan berupa makanan dalam rantang, "mereka bilang mau mencari neneknya Ida." Lanjutnya begitu barang bawaannya berpindah tangan.

Si kumis membenahi letak sarung yang mlorot lalu mencari tahu siapa tamu yang dibawa Danish. Ditatapnya Na dan Lindu yang berdiri di belakang Danish. Ia sama sekali tak mengenal keduanya, tak memiliki satupun ingatan ia pernah bertemu satu dari keduanya.

"Siapa?"

Na melirik Lindu, berharap pria itu yang bersuara bukan terperangah menatap kecantikan si Ida yang malu-malu mencuri pandang dari punggung bapaknya.

"Saya Na," selain itu ia tak tahu harus jawab apa. Tak sanggup bilang nyariin pembantu yang kabur. Mbok Yah kan bukan pembantu baginya, tapi sudah seperti orang tua sendiri. Karena itu juga ia tak marah untuk waktu yang lama atas apa yang diperbuat perempuan tua itu. Ia bahkan mengkhawatirkan bagaimana kehidupan perempuan itu tanpanya.

SijiWhere stories live. Discover now