1. Bermula di Jakarta

87.6K 2.7K 108
                                    

"Cara memakai jilbab," kuketik pencarian di Youtube dan ratusan video muncul. Aku mengeklik kiri dua kali dan video itu terputar di laptopku. "Ah, ini bisa jadi panduan...," aku berhenti, mengamati cara si model memakai jilbab yang rumit. Keningku berkerut. "Ugh, kenapa sesusah itu? Lilit sana, masukkan di sini, peniti sana-sini. Aduh...." Aku menggerutu, kesal karena merasa begitu tak mampu mengikuti model jilbab yang dicontohkan. "Hash!"

Kumatikan video lalu meletakkan kepalaku di meja; frustasi setengah mati. Bagaimana bisa aku seperti ini? Sangat terdengar konyol. Gadis berusia 23 tahun tidak bisa memakai jilbab. Oh, memalukan!

Jika aku masih tidak bisa memakai jilbab, lalu bagaimana dengan kegiatan rotasi klinikku di sana? Aku masih ingat percakapan dengan dosen pembimbingku kemarin.

"Killa, di antara dokter koass, hanya kau yang kutugaskan di sana. Tidak ada teman satu tim sekarang, yang ada hanya kamu sendiri. Kau tahu, daerah praktikmu itu memiliki lingkungan agamis yang sangat tinggi. Lalu, di sana memang desa terpencil, maksudku, semua fasilitas tidak seperti di kota. Penduduk hanya bekerja saat siang dan beribadah saat malam. Satu lagi, kesehariannya di sana harus memakai jilbab. Bapak harap, kamu juga mengenakan jilbab agar kamu mudah beradaptasi."

"Tapi, Pak...."

"Ini sudah ada dalam surat tugasmu dari kampus."

Hah, seandainya saja aku bisa protes. Daerah terpencil tak masalah, tak ada tim juga tak mengapa, masalah utamanya adalah mengenakan jilbab. Apa itu tidak melanggar hak asasiku sebagai warga negara Indonesia? Sekalipun aku beragama Islam, Indonesia adalah negara hukum bukan Negara Islam. Akan tetapi, jika aku tak mengikuti keseharian penduduk, aku pasti akan kesusahan beradaptasi. Astaga, apa aku harus lulus tahun depan saja?

"Killa!" Erma sudah menyerbu masuk di kamar kostku. Seperti biasa, ia datang dengan membawa segudang DVD drama Korea, berharap agar aku menonton bersamanya. Tsk, tak tahukah dia bahwa aku tengah dilema? Aish.

"Ini drama terbaru Lee Min Ho, The Faith! Ya Tuhan, ini drama sageuk[1] yang sangat keren!" pujinya tanpa melihat raut wajahku yang mulai berlipat. Gadis itu dengan seenaknya membuka bungkus DVD dan memutarnya di DVD playerku.

"Heish...!" aku berdiri, berniat meninggalkannya yang bersemangat menonton. Ia berseru dan menghentikan langkahku. Ia menatapku curiga lalu mematikan DVD.

"Museum ireumnika[2]?"

Seperti biasa, Erma selalu menggunakan bahasa Korea denganku, seakan dia hidup di negri Gingseng saja. Hebatnya, aku juga bisa sedikit paham dengan bahasa asing. Mungkin, aku perlu berterima kasih soal ini? Akan kupikirkan nanti.

"Ada masalah, ya? Aku datang di waktu yang tak tepat, ya?" Erma menunduk. "Mianhae[3]"

Aku menggersah. Semakin kacau saat melihat Erma berkaca-kaca. Ya Tuhan, kenapa Erma sensitif sekali?

"Bukan kau masalahnya. Aih...." Erma terisak. Aku mendekati dia dengan langkah serampangan. "Bukan kau, paham?"

Kutatap manik mata Erma dengan serius, gadis itu akhirnya menghapus airmatanya. Oi, kenapa persahabatanku mirip sebuah drama yang menguras airmata dan emosi?

"Lalu apa?"

Aku duduk di kursi, di depan meja belajar. Erma terus mengamatiku. "Beberapa hari lagi aku harus ikut rotasi klinik di Sumatera Selatan. Biasanya, kami dibuat tim, tapi untuk sekarang tidak ada tim, kami bertugas sendiri-sendiri. Untuk klinik kebidanan dan penyakit kandungan, kami disebar di klinik atau puskesmas di desa-desa terpencil." Jujurku, Erma menaikkan alisnya. "Dan daerah tempatku rotasi klinik sekarang memiliki kebiasaan memakai jilbab karena memiliki sebuah pesantren besar."

Serenade JinggaDär berättelser lever. Upptäck nu