11. FIRST WORRY

19.1K 1.5K 76
                                    


Mahenz menatap lagi layar ponselnya yang tergeletak di sudut meja kantor dadakan selama pamerannya berlangsung. Sudah dua puluh menit sejak dia menatapi ponselnya itu dengan perasaan kebat-kebit. Tapi ponselnya tetap tidak berdering sama sekali. Tidak ada telepon masuk. Tidak ada pesan yang terlayang. Atau apapun itu yang menandakan keberadaan Bagas.

Sudah tiga hari dari hari selasa kemarin Bagas mengantar Mommy-nya untuk mengunjungi kakaknya yang berada di Amerika. Cowok itu sebetulnya mengajaknya kemarin, namun karena dia tidak bisa meninggalkan pamerannya begitu saja, dia terpaksa menolak. Dia tidak mungkin menyerahkan segala sesuatunya pada Julian dan Pieter. Lebih tepatnya dia tidak mau merepotkan mereka.

Lagipula Bunda-nya juga baru sampai tadi malam ke rumah. Masa mau dia tinggal begitu saja? Dia tidak bisa seenaknya meninggalkan bundanya dengan adiknya yang pasti ingin beristirahat juga. Maureen sudah hampir sebulan mengurus Bunda sendirian. Walaupun adik kembarnya itu tidak mengeluh apapun, dia yang harus tahu diri. Maureen pasti juga ingin punya waktu untuk dirinya sendiri. Dia pasti sudah kangen ingin bertualang dengan klub sepeda-nya.

Semalam saat dia baru saja hendak tidur, Bagas meneleponnya. Mengabarkan bahwa dia sudah akan take off dan akan sampai Jakarta sekitar sore hari. Katanya dia tidak takkan melewatkan penutupan pameran Mahenz. Memang penutupan pamerannya masih akan besok. Tapi Bagas ingin ikut mempersiapkan closing pamerannya itu.

Dan sampai sekarang cowoknya itu belum ada kabarnya lagi.

Memang hari masih sore. Matahari belum lagi menghilang di ufuk barat. Tapi Mahenz sudah cemas begini. Seharusnya Bagas sudah transit di Singapore. Mestinya dia bisa menghubungi Mahenz atau memberi kabar. Atau dia kehabisan baterai ponsel? Mahenz mencoba berpikir positif. Bagas punya dua ponsel canggih yang selalu dibawanya kemana saja. Dia pasti punya cara utuk menghubungi Mahenz.

"Cowok lo belum telepon juga?" tanya Pieter saat dia lewat dan masih mendapati Mahenz duduk menatapi ponselnya.

Seminggu yang lalu, saat Pieter meledeknya seperti itu, Mahenz pasti bakal misuh-misuh sambil membalas Pieter. Tapi sekarang Mahenz tak punya keinginan untuk membalas ledekan Pieter. Lagipula Bagas memang sudah jadi pacarnya. Mau nggak mau dia harus mengakuinya. Karena dia sudah mengiyakan permintaan cowok itu.

Setelah pertemuan dengan Angel saat makan siang itu. Hubungannya dengan Angel sudah berakhir. Mereka sudah resmi putus. Sudah resmi berpisah. Mahenz bisa bicara dengan baik-baik. Angel sendiri tidak kelihatan emosi, walau saat itu Bagas menemaninya. Intinya mereka sudah berpisah dengan baik-baik. Dan Bagas memeluknya dengan bangga seharian itu.

Well, tidak betul-betul memeluknya sih, lengkap dengan paket-paket lainnya. Intinya lagi seharian itu dia menghabiskan waktunya dengan berada di dalam pelukan Bagas. Cowok itu betul-betul mengurungnya selama dua puluh empat jam penuh di rumahnya. Mahenz tak punya kuasa untuk melarikan diri.

Mereka berhubungan intim sampai Mahenz betul-betul menyerah kalah. Sampai tubuhnya lemas luluh lantak tak bisa menerima lagi gempuran Bagas. Dia tidak bisa mengimbangi stamina tubuh Bagas yang amat fit itu. Pulang dari bertemu dengan Angel, Bagas langsung menggiringnya lagi ke ranjang. They are really get naked all that long day. Sampai makan malam pun di tempat tidur. Mahenz bahkan tak sempat lagi menghitung berapa kali mereka bercinta. Dia puas sekali. Amat sangat puas tapi lelah. Betul-betul kelelahan.

"Belum," geleng Mahenz. "Ada apa ya?" tanyanya pada diri sendiri dengan nada was-was.

"Delay kali flight-nya. Atau ponselnya lowbat."

"Dia tuh punya dua ponsel. Masa dua-duanya kehabisan baterai?"

"Yah bisa aja kan dia lupa nge-charger ponselnya waktu mau berangkat." Sahut Pieter santai. "Dah, dibawa santai aja. Jangan mikir yang enggak-enggak."

You drive me crazyWhere stories live. Discover now