6. First Thought

19.1K 1.6K 150
                                    

Mahenz gelisah semalaman. Dia tak bisa tidur. Bahkan dia tak bisa memejamkan matanya. Karena setiap kali dia memejamkan mata, maka yang teringat adalah ciuman lembut di dalam toilet itu. Dia coba makin rapatkan matanya, maka terbayang kembali ciuman panas di lapangan basket itu.

Begitu terus sepanjang malam. Seperti slide film yang loss di otaknya. Berputar-putar tak mau berhenti. Ciuman panas di lapangan basket kampusnya. Ciuman lembut di dalam toilet restoran itu. Silih berganti. Tumpang tindih. Berkejaran di otaknya. Berseliweran di benaknya. Sampai dia terengah-engah sendiri dengan bayangan itu.

Dia berteriak jengkel pada akhirnya. Setan mana sih yang terus bercokol mengusik tubuhnya? Sampai dia tak bisa tak perduli begitu saja dengan bayangan itu. Kenapa dia terus teringat pada Bagas. Pada ciumannya yang membangkitkan suatu hasrat liar dalam tubuhnya. Pada nafasnya yang harum dan segar. Pada tatapan matanya yang nyaman menghanyutkan. Pada gesture tubuh tingginya yang seolah melindungi. Pada wangi tubuhnya yang menyesatkan. Pada sentuhan tangannya yang membakar hatinya. Bahkan semuanya tentang cowok itu membuatnya bingung pada dirinya sendiri.

Dia masih punya Angel. Kekasihnya yang jelita itu. walaupun status mereka sekarang sedang rehat bukan berarti dia harus melupakan gadis itu kan? Tapi dia sudah berciuman dengan orang lain lagi. Dan lagi-lagi dengan cowok yang sama. Cowok yang jadi penyebab rehat-nya hubungan dia dengan Angel. Dan dia tahu bahwa Bagas gay. Apa ini sudah termasuk pengkhianatan? Apa ini sudah termasuk kategori selingkuh? Mahenz pusing sendiri memikirkannya.

Dia bangkit dari ranjang kemudian karena betul-betul tak bisa tidur. Rumahnya yang sepi makin membuatnya gelisah. Tak ada teman bicara yang bisa dijadikan pengalihan perhatiannya dari jerat bayangan Bagas. Adiknya sudah menelepon tadi sebelum dia memutuskan tidur, melaporkan keadaan Bunda. Bunda sudah lebih baik dari kemarin. Sudah bisa tersenyum. Sudah bisa diajak bicara. Sudah mau makan. Mahenz amat senang mendengarnya. Dia sudah kangen sekali dengan mereka.

Karena tak tahu harus bagaimana mengusir bayang-bayang Bagas, dia akhirnya keluar balkon kamarnya yang berada di lantai dua. Duduk di bean bag empuk kesayangannya sambil memandangi bintang-bintang di langit. Bintang-bintang yang berbinar redup, karena bulan tertutup awan. Seredup hatinya yang gamang dan gelisah.

Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ada pesan Line dari Julian. Mahenz tak langsung membalas pesan itu, dia malah men-dial nomor Julian.

"Belum tidur, bro?" tanyanya begitu Julian menyahut.

"Gue malah baru bangun tidur," jawab Julian. "Habis nonton race motor, gue malah ketiduran. Alamat begadang deh nih."

"Recorded?"

"Iya, kan hari minggu kemarin kita sibuk. Gue nggak sempet nonton."

Mahenz tahu, Julian penggila racing motor. Dia bahkan sampai memburu tiket ke Jepang dan Malaysia untuk nonton secara langsung balapan motor kelas internasional itu.

"Temenin gue dong," pinta Mahenz.

"Eh, tumben lo minta ditemenin?"

"Gue juga nggak bisa tidur, lo ke rumah gue ya."

"Ya udah. Lo lapar nggak. Sekalian gue beli makanan."

"Gue udah makan tadi. Lo nggak usah bawa apa-apa, gue punya cemilan banyak nih."

"Oke, gue nyampe setengah jam-an deh."

"Sip."

Mahenz kembali mencari nomor lain di ponselnya. Kalau Pieter tahu, Julian begadang di rumahnya tanpa dia, cowok bongsor itu pasti bakalan ngambek lama. Soalnya dia lagi butuh bantuan tenaga cowok itu. jadi daripada nanti dia dicuekin, mending dia undang sekalian Pieter untuk begadang di rumahnya.

You drive me crazyWhere stories live. Discover now