20. First Dirty

16K 1.2K 218
                                    


Mahenz terjaga ketika dia berbalik dari rebahnya dan wajahnya membentur sesuatu yang hangat dan empuk. Dada telanjang Bagas. Sebelah tangan Bagas melingkari pinggangnya. Sebelah yang lain terlipat di atas dadanya. Aroma maskulin yang lembut menguar khas dari tubuh yang sedang terlelap itu. Perpaduan antara sabun, cologne dan parfum yang dipakai Bagas membuat hidungnya tercemar laksana candu ekstasi.

Mereka masih dalam keadaan polos. Telanjang. Tubuh mereka hanya tertutup selimut tebal yang lembut, yang hanya menutupi sampai sebatas pinggang mereka. Suhu ruangan di kamar juga sejuk. Tidak dingin. Juga tidak panas. Bagas mengatur suhu AC ruangan dengan pas sekali.

Cahaya lampu temaram dari kaca aquarium di sudut kamar membuat suasana remang-remang yang syahdu. Membuat malas beranjak dari tempat tidur.

Mahenz menoleh ke arah balkon. Dari balik tirai yang gelap, dia yakin bahwa saat ini pasti masih pagi sekali. Dia menoleh lagi ke meja nakas. Di mana jam digital berkedip-kedip menunjukkan pukul 03.42.

Masih terlalu pagi untuk bangun.

Mahenz merebahkan lagi kepalanya di dada telanjang Bagas. Pipnya bersentuhan dengan kulit lembut yang liat. Denyut jantung Bagas, mengeliat lemah di ujung telinganya. Geliat yang mendorongnya untuk makin membenamkan kepalanya dalam kesejukan kulit yang menggetarkan itu.

Untuk sejenak Mahenz membiarkan dirinya terbius dalam rasa nyaman yang menenangkan jiwanya itu. Hidungnya kembali menghidu aroma tubuh yang sedang dipeluknya itu. Menangkap kesegaran rasanya dan mematrinya rapat-rapat di sekat ruang terdalam memory kalbunya.

Sampai tadi malam, saat mereka bercinta di rooftop rumah Bagas, di alam terbuka yang cerah, dia masih tidak mampu mendustai hatinya sendiri. Sampai tadi malam, saat tangan-tangan keraguan mengetuk pintu hatinya, memohon pembebasan kelu, agar terbebas dari kurungan sanubarinya. Mengibarkan ikrar cinta yang tidak mampu dihalaunya.

Siapa yang mampu mendustai cinta bila rasanya begini indah? Siapa yang mampu menolak kasih bila getarnya begitu menentramkan kegersangan hati? Siapa yang mampu menepis sayang bila simpulnya begitu memukau mengikat relung-relung jiwa?

Mahenz sadar satu hal sekarang.

Dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Bagas.

Bukan. Bukan jatuh cinta.

Tapi dia sudah mencintai Bagas.

Yah, rasanya dia sudah seyakin itu.

Tanpa sadar, dia sudah mendongak. Menatap wajah lelap Bagas yang tenang. Begitu saja ujung-ujung bibirnya mengembang senyum kecil. Selama ini dia belum pernah benar-benar memperhatikan wajah kekasihnya itu, meski mereka sudah sering menghabiskan waktu bersama.

Tiba-tiba saja ada keinginan gelap yang menggoda hatinya. Mumpung Bagas masih tertidur, dia bisa mengeksplorasi peta tubuh kekasihnya itu.

Bagas punya raut wajah yang menyenangkan untuk dipandang. Dengan paras wajah belia yang seolah baru beranjak dewasa. Semua yang ada di wajahnya adalah kesempurnaan yang bahkan membuatnya iri. Ujung jari Mahenz begitu saja bergerak menyentuh dagu kokoh itu. Mengusap perlahan bekas luka di bawah dagu itu yang berupa carut dalam yang berbekas namun tidak kentara bila tidak benar-benar dilihat. Hanya saja bekas luka itu tidak sepanjang bekas luka di bawah dagunya.

Jari-jarinya bergerak turun ke atas leher lalu ke kulit dada yang telanjang itu. Menyadari perbedaan kulit mereka yang agak mencolok. Dia punya kulit coklat kemerahan, sementara Bagas malah punya kulit putih tanpa cela dengan bulatan kecil berwarna merah muda yang kelihatan menggemaskan.

Mahenz bergerak memperhatikan puting itu. Tanpa sadar pula, dia sudah menunduk mencium bulatan kecil itu dengan perlahan. Tak ada reaksi apapun dari Bagas. Mahenz mendongak, melihat pada kelopak mata Bagas yang masih tertutup rapat. Nafasnya masih teratur yang menandakan Bagas masih terlelap.

You drive me crazyWhere stories live. Discover now