14. First Doubt

14.2K 1.3K 102
                                    

"Jadi, gimana sebetulnya ceritanya?" todong Maureen lagi langsung memanfaatkan waktu saat Bunda dipanggil oleh dokter yang merawat Mahenz, setelah Mahenz selesai melakukan pemeriksaan CT-scan. Bagas sudah pasti menemani Bunda. Dengan kepentingan yang berbeda tentu saja. "Gue mau tahu detailnya. Jangan sampai lo bohong ama gue, Henz."

"Gue baru sadar nih, Ren," keluh Mahenz lemah sambil meringkuk lagi di bantal. "Masa lo udah maksa kayak gitu?"

"Gue penasaran." Maureen masih menatap penuh selidik pada wajah Mahenz. "Gue pergi ama Bunda berobat nggak ada sebulan. Waktu kemarin gue ama Bunda pergi, pacar lo masih Angel kan? Kenapa begitu kita pulang pacar lo jadi Kak Bagas dan Angel mau tunangan ama orang lain?"

"Kepala gue tiba-tiba sakit, Ren." Mahenz pura-pura memejamkan matanya, demi menghindari interogasi lanjutan.

"Jangan ngelak lo." Maureen mencubit kecil pipi Mahenz yang bebas dari memar.

"Ouch!" Mahenz berteriak kencang. "Lo senang banget nyiksa gue, ya? Gue pusing, badan gue juga masih lemas, Ren. Gue mau tidur lagi."

"Gue ama Bunda lebih pusing ngadepin orang-orang di luar sana." Mauren memukul-mukul gemas lengan Mahenz. "Bangun nggak lo!"

Tanpa disuruh dua kali, Mahenz membuka matanya. Dia menatap bingung pada adik kembarnya itu.

"Orang-orang apa?"

"Lo nggak tahu kan kalo lo udah masuk berita di sosmed? Mereka ngejar-ngejar gue ama Bunda. Minta klarifikasi. Bunda sama sekali nggak tahu. Daripada Bunda tahu dari orang lain, mending Bunda tahu dari lo sendiri atau dari gue kan?"

"Bisa lo pelan-pelan, Ren? Lo bikin gue tambah bingung." Mahenz mengusap wajahnya dengan gusar. "Udah bagus gue nggak amnesia nih."

"Mending lo amnesia sekalian, Henz. Kali aja lo nggak bakal inget kalau lo punya pacar cowok."

Mahenz memandang mata Maureen yang masih gusar saat balik menatapnya. Dia tahu adiknya itu seorang gadis yang berpikiran terbuka. Dia bukan orang apatis yang rasis. Dia nggak akan meng-kotak-kotakkan orang dengan hanya melihat gaya hidupnya.

"Lo benci sama Bagas, Ren?" tanyanya pelan.

"Sampai tadi pagi saat gue ngelihat dia tidur sambil meluk lo, gue nggak punya pikiran apa-apa kecuali heran." Maureen ikut bicara dengan pelan. "Waktu lo bilang dia pacar lo, gue masih bingung. Gue pengen benci kalau saja gue bisa. Tapi nggak bisa, Henz. Kak Bagas orang yang baik. Gue tahu, kita nggak pantes ngomongin ini. Tapi kita sudah hutang budi sama dia. Kalau nggak ada dia, Bunda pasti udah kelimpungan. Dia yang jagain lo setiap malam di sini waktu lo koma, gimana gue bisa benci sama dia?"

Mahenz mengerjapkan matanya terkejut. Dia tidak menduga sama sekali kalau Bagas akan menjaganya setiap malam. Dia pikir, salah satu dari sohib-sohibnya yang akan menjaganya. Entah Pieter atau Julian.

"Bagas jagain gue setiap malam?"

Walaupun sudah bisa menduga, menilik dari sifat posesif Bagas, bahwa kekasihnya itu akan menjaganya di saat dia sedang tidak sadarkan diri, namun tetap saja dia tidak menyangka Bagas akan melakukannya. Bukankah dia punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan?

"Pieter bilang, dia atau Julian selalu diusir pulang setelah jam sembilan malam," angguk Maureen. "Bahkan waktu pertama lo masuk ICU, dia baru sampai dari Amerika, dari bandara dia langsung ke sini. Setiap pagi gue ama Bunda tukeran jaga sama dia. Bunda udah bingung harus bagaimana sama kebaikan kak Bagas. Gue bahkan baru nyambung masalah pengusaha muda itu tadi pagi, setelah melihat pelukan itu. Bagaimana bisa dia jadi pacar lo?"

"Apa yang harus gue ceritain lagi, Ren?" tatap Mahenz bingung. "Itu lo udah tahu semua."

"Itu gue menarik kesimpulan sendiri, Henz." Maureen duduk di sebelah Mahenz lagi. "Lo harus cerita yang sebenarnya. Biar gue nggak tebak-tebak buah manggis."

You drive me crazyWhere stories live. Discover now