Kekuatan Cinta

30 9 0
                                    

By : Clarissa
Wp : clarissalv
.
.
.

Dinda memandang gerbang rumah di hadapannya sambil terus meneriakkan nama sang pemilik rumah. Keinginannya untuk bermain bersama Risky, tetangganya, tidak pernah hilang meskipun matahari sudah ada tepat di atas kepalanya.

"Risky! Main yuk!" teriak Dinda untuk yang kesekian kalinya.

Teriakan-teriakannya berbuah manis. Semenit setelah teriakan terakhirnya itu, Risky keluar dari rumahnya sambil membawa bola.

"Hai, Dinda. Maaf ya. Kamu pasti menunggu. Tadi aku makan dulu, Mami aku masak banyak," kata Risky.

Dinda terdiam. Mama tidak pernah memasak untuknya. Itulah mengapa Dinda sebenarnya iri pada Risky karena Risky memiliki orang tua yang sayang padanya.

"Dinda? Jadi main?"

Risky melambai-lambaikan tangan kanannya di hadapan Dinda. Dinda langsung sadar dari lamunannya. Ia buru-buru menggandeng tangan Risky dan mengajak sahabat laki-lakinya itu ke taman.

"Kita mau main ini lagi? Bosan, ah," kata Dinda saat Risky melempar bola yang sedari tadi dipegangnya ke Dinda.

Risky tersenyum, nyengir tepatnya.

"Habisnya, aku bingung mau main apa," jawab Risky.

Dinda melihat sekelilingnya. Pandangannya terhenti pada sebuah kotak nasi yang ada di sebelah bangku taman.

Dinda mendekati kotak tersebut dan mengambilnya.

"Bersih," gumamnya saat melihat isi kotak tersebut.

"Kamu mau main sama sampah, Din?" tanya Risky saat melihat Dinda berjalan mendekatinya sambil membawa kotak nasi kosong.

Dinda menggelengkan kepalanya.

"Kita buat kapsul waktu yuk, Ris," ajak Dinda.

Risky tersenyum lebar. Ia pernah menonton acara kartun di televisi yang menceritakan tentang segerombolan orang yang membuat kapsul waktu.

"Yuk! Pasti menyenangkan!" jawabnya antusias.

"Tapi, diisi apa? Pasti kalau barang, Mama aku enggak bolehin," kata Dinda sedih.

Risky yang banyak akal pun mendekati Dinda sambil menepuk pundak sahabatnya itu.

"Bagaimana kalau surat? Jadi, kita kubur di belakang rumahku. Saat kita tujuh belas tahun, kita buka suratnya. Setuju?" ucap anak berusia sebelas tahun itu.

Dinda mengangguk sangat setuju.

"Ayo ke rumahku! Kita buat suratnya di rumahku saja," ajak Risky.

Ia dan Dinda pun langsung kembali ke rumah Risky. Tentu mereka ingat membawa bola yang mulanya dibawa oleh Risky.

●●●

Risky memandang selembar kertas di hadapannya dengan bingung lalu menatap Dinda yang sedang asyik menulis.

"Kita tulis apa, Din?" tanya Risky kepo sambil terus mencoba mengintip tulisan Dinda.

"Risky! Jangan ngintip, dong!" elak Dinda sambil mencoba menutupi tulisannya.

Ia lantas memandang kertas Risky yang masih kosong tanpa coretan.

"Tulis pesan dan kesanmu buat aku, Ky!"

"Apa? Kesan dan pesan? Apaan, tuh?" tanya Risky bingung.

Dinda menepuk dahinya sambil menggelengkan kepala dan berdecak setelah mendengar Risky mengungkapkan kebingungannya.

"Risky... Risky... Kesan itu maksudnya, kamu tulis pendapat kamu tentang aku," Dinda menjelaskan.

Misalnya, aku cantik, baik, pintar, tambah Dinda dalan hati.

"Sedangkan pesan, itu semacam krisan yang membangun buat aku."

"Krisan? Apa lagi itu? Krupuk?" tanya Risky lagi sambil tertawa terbahak-bahak.

Dinda memajukan bibirnya lalu menepuk lengan Risky agak keras, sehingga menyebabkan anak laki-laki itu mengaduh.

"Kritik dan saran! Buruan tulis! Yang rapi, ya!" Dinda memperingatkan.

"Iya, Bos," sahut Risky. Ia pun mulai menulis dengan malas.

●●●

"Oh, God! Tinggi banget, gila. Itu, kan, sumber energi gue..." kata Dinda sambil terus berjinjit untuk meraih sekotak sereal yang terletak di rak bagian atas.

Susah payah berusaha, tiba-tiba sebuah lengan panjang terulur dari belakang tubuh Dinda. Tentu bukan tangan ketiganya, melainkan tangan dari orang yang dengan baik hati mau membantunya.

Dinda menoleh saat orang itu menyerahkan kotak sereal yang berusaha di raih Dinda sedari tadi. Dinda menerimanya dan orang itu tersenyum, manis sekali. Senyumannya mengingatkan Dinda akan sesuatu. Kenangan masa kecilnya.

"Makasih, Mas," kata Dinda malu-malu. Orang yang dipanggilnya 'mas' itu tertawa kecil.

"Enggak usah panggil mas, panggil aja Risky," katanya tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya.

"Ris-ky?" wajah Dinda terlihat kebingungan.

"Iya. Risky. Nama kamu siapa?" tanya orang yang mengaku bernama Risky itu. Dinda terlihat salah tingkah. Mungkinkah pria tampan yang tinggi dan ada di hadapannya kini adalah Risky, sahabat semasa kecilnya dulu?

Dinda ingat betul saat Risky pindah dari Jakarta ke Bandung karena urusan pekerjaan Ayahnya. Dan Dinda sangat ingat kalau saat ini ia berkuliah di Bandung. Tapi, Dinda tidak ingat kalau ia akan bertemu lagi dengan sosok Risky.

Risky tersenyum. Kali ini, Dinda seribu persen yakin kalau pria di hadapannya ini adalah Risky yang dikenalnya.

Refleks, Dinda memeluk Risky erat. Wajah Risky memerah. "Ky! Gue kangen sama lo!" teriak Dinda yang langsung membuat seluruh penghuni mini market menoleh ke arahnya.

Risky mencoba melepas pelukan Dinda. "Maaf," katanya. Dinda yang langsung tersadar, buru-buru melepaskan pelukan eratnya.

"Ky! Ini gue, Dinda! Dinda Nurmalita Kusuma! Lo... Lo Risky Indrawijaya, kan? Gue bener, kan?"

Risky melotot mendengar Dinda mengatakan itu. Sekarang, giliran ia yang memeluk Dinda. Mereka persis seperti duo teletubbies yang sudah ratusan tahun tak berjumpa.

"Lo selama ini kemana aja, Din? Gue kangen banget sama lo!" ucap Risky sambil melepas pelukannya. Dinda tersenyum penuh rahasia.

●●●

"Lo sekarang tinggal dimana, Din? Masih sama Oma Kinan?" tanya Risky saat dirinya dan Dinda sudah duduk di bangku yang terdapat di depan mini market.

"Hm...gue ngekos, Ky. Oma udah meninggal dua tahun yang lalu. Awalnya, gue sama Oma tinggal di rumah Mama, sih. Tapi, setelah Oma meninggal, Mama nikah lagi, dan gue lebih milih tinggal sendiri alias ngekos. Tapi, Mama sama Papa masih sering ngirimin gue uang, mereka enggak ngelupain gue," papar Dinda yang membuat perasaan kasihan muncul di hati Risky.

Dinda, yang usianya kebih muda dari dirinya enam bulan, harus merasakan pahit yang sangat dalam di usia yang masih muda. Orang tuanya bercerai saat Dinda berusia tiga tahun. Dinda tinggal bersama Omanya dan baru mengetahui perihal perceraian orang tuanya ketika kelas satu SMP.

Risky hanya bisa mendoakan Dinda. Mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya itu.

"Eh, kapsul waktu kita gimana, ya?" tanya Risky berusaha menghilangkan suasana sedih yang memenuhi hati dan pikirannya.

"Kan di rumah lo yang di Jakarta," jawab Dinda.

"Iya, ya. Mumpung Juan masih di Jakarta, gue titip dia aja, deh," ucap Risky. Mata Dinda berbinar saat Risky menyebut nama 'Juan', yaitu sepupu Risky yang gantengnya minta ampun—bagi Dinda.

"Eh, iya! Boleh! Sekalian, kalau mau ajak Juannya juga ketemu gue!" seru Dinda antusias.

"Ah, elo! Kalau Juan aja," kata Risky sebal sambil memutar bola matanya. Dinda hanya nyengir sambil mencoba mengalihkan perhatian.

"Eh, eh, lo udah punya pacar belom?" tanya Dinda iseng.

The Power Of Love [Event Feb]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα