Part 14

242K 21.2K 594
                                    

Kamu tau apa yang bisa disebut malam buruk? Contohnya adalah malam ketika beberapa waktu lagi usiamu bertambah, tetapi kamu sendirian tanpa dikelilingi oleh orang-orang yang kamu sayangi.

Kamu tau apa yang lebih buruk dari itu? Yaitu ketika malam itu juga, kamu masih terjebak di sebuah ruang operasi, di tengah jaga malam, mengasisteni sebuah operasi laparotomi evakuasi. Prosedur pembedahan membuka dinding perut lebar-lebar yang bertujuan untuk mengevakuasi atau membenahi sesuatu di dalam perut itu.

Pasien adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, korban tabrak lari sekitar dua jam sebelum masuk rumah sakit, yang datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut sebelah kiri. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata terlihat luka memar ketika kami membuka bajunya, dinding perut teraba keras dan nyeri saat ditekan serta kondisi si ibu yang kian pucat membuat para residen bedah umum curiga bahwa telah terjadi trauma yang mengakibatkan perdarahan dalam perut si Ibu. Maka benar saja setelah dilakukan USG dan terlihat cairan bebas di dalam rongga perut - dan setelah konsul dengan kondulen spesialis bedah - maka dokter Zaki, residen bedah umum yang bertugas malam itu segera merencanakan operasi cito.

Seharusnya posisiku sebagai koas super senior di stase bedah ini membuatku terbebas dari pekerjaan seperti ini. Tapi apesnya, malam ini malam minggu. Dan setiap malam minggu, rumah sakit ini selalu ramai dengan pasien kecelakaan lalu lintas, sehingga seluruh koas bedah yang berjaga malam ini sedang sibuk menjawab konsulan atau mengasisteni para residen di ruang gawat darurat dan bangsal.

Bukannya aku mengeluh, tapi masalahnya adalah ... aku sudah benar-benar lelah malam ini. Dua minggu terakhir energiku terkuras habis untuk mem'babu' di stase bedah. Dokter Fina memastikan aku tidak bisa kemana-mana dan tidak bisa beristirahat barang satu hari karena ada saja setiap hari tugas-tugas yang harus aku selesaikan. Karena bagaimanapun aku refresh di bawah nama dokter Fina, maka setiap pekerjaanku selama refresh bedah ini berada di bawah pengawasannya. Aku benar-benat tidak bisa berkutik.

"Alina, coba tarik haknya ke belakang lagi, saya kurang jelas liatnya." Aku mengikuti instruksi dokter Zaki yang terus mencoba mencari sumber perdarahan di dalam perut pasien.

"Nah ... itu dia ..."

"Mana dok?" tanya perawat asisten operasi di hadapannya.

"Itu lho Mas, liat kan? ... spleen-nya ruptur." Ucap dokter Zaki yang berarti salah satu organ di dalam perut pasien, yaitu limpa, mengalami luka robek akibat benturan saat kecelakaan sehingga mengakibatkan perdarahan dalam perut.

"Klem mana klem? Sambil suction terus ya Mas." Perintah dokter Zaki. Aku dengan sigap mengambil klem dari perawat instrumen dan memberikannya kepada dokter Zaki sementara asisten di hadapannya terus menyedot darah yang tidak berhenti mengalir untuk memperjelas lapang pandang.

"Bro? Gimana Bro?" aku menoleh ke asal suara dan melihat dokter Reno masuk ke ruang operasi kami sambil merangkul Rasyid, yang sekarang sedang menjalani stase anestesi, stase yang masih tidak jauh-jauh dari ruang operasi tapi lebih fokus kepada pembiusan. Mereka masih mengenakan baju scrub lengkap dengan headcap dan masker, sepertinya baru saja selesai operasi di ruang sebelah.

"Aman! Udah ketemu yang gue cari. Lo udah selesai cranio, Ren?" tanya dokter Zaki yang dengan tekun menjahit organ yang terluka di hadapannya itu.

"Udah dong ... Eh lah, si Alina masih betah aja jadi di sini. Syid, sohib lo tuh!"

"Eh iya sohib gue yang terpisah. Gimana kabarnya Kapten Alina eh apa Kopral Alina ya?" aku melirik Rasyid sebal, dua minggu terpisah dariku ternyata tidak membuatnya berhenti mem-bully-ku. Kami pernah membahas sebuah anekdot kalau pangkat istri tentara itu lebih tinggi dari suaminya, tapi karena di mata Rasyid aku masih kalah dari Ibram maka pangkatku jatuh menjadi Kopral.

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang