Part 11

232K 21.9K 594
                                    

"Terus habis itu Ibram bilang apa?"

"Nggak ada. Liatin aja gue nangis."

"Yaaaaaahhh!" Vica dan Rasyid kompak berseru kecewa, yang satu memukul meja dan yang satu lagi menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Segera setelah Om Gunawan mengantarkanku kembali ke apartemen, aku segera menghubungi Rasyid dan Vica dengan kode 'darurat' agar bisa segera bertemu. Maka sejak setengah jam yang lalu aku menceritakan kepada mereka berdua, pendengar setia keluh kesahku, seluruh kejadian yang terjadi di asrama, di sebuah cafe tempat kami biasa berkumpul.

"Terus dia nyuruh gue nunggu, sampe acara pengarahan selesai, dia suruh gue duduk deket dia. Gue pikir bakal ditenangin atau gimana gitu, ternyata nggak sih, diliatin aja. Terus jaga-jaga kalau gue nangis lagi, sama Ibram dikasih tisu. Begitu acara selesai, dia langsung ijin ke Komandan sama istrinya dan bilang gue nggak enak badan, terus udah ... gue dianter pulang sama supir." Aku melewatkan detail bagaimana Mba Rena mengira aku sedang hamil muda dan mulai panik ingin membawaku ke rumah sakit jika saja Ibram tidak memastikan bahwa aku baik-baik saja.

"Itu bego apa gimana sih Ibram? Cemen banget jadi cowok! Masa harus gue ajarin sih gimana caranya jadi cowok sejati!" aku dan Vica menatap Rasyid dengan pandangan mencela,

"Cowok sejati itu kalau suka sama cewek diperjuangkan ke orang tuanya, jangan malah digertak sekali langsung ngacir." Ucap Vica pelan.

Jadi, Vica dan Rasyid ini adalah dua orang terdekatku yang memiliki perjalanan cinta terumit yang pernah aku saksikan. Ketertarikan di antara mereka berdua tidak bisa disangkal sejak pertama kali mereka bertemu di apartemenku dua tahun yang lalu. Saat Rasyid mulai berdamai denganku dan mengikis habis seluruh egonya untuk bisa sejalan menjadi partner koas-ku. Begitu aku menyadari sifat anak baik-baik di diri Rasyid yang selama ini tersembunyi dari aura bad boy-nya, aku langsung tau bahwa Vica dan Rasyid akan cocok sekali, maka segera saja aku merestui hubungan mereka dan berperan sebagai mak comblang.

Seperti pasangan muda dimabuk cinta yang lain, mereka setia bersliweran di hadapanku dengan gaya pacaran mereka yang tidak ada romantis-romantisnya. Tetapi aku tidak keberatan jadi obat nyamuk, karena jika ada aku, mereka tidak canggung dan mengajakku bertiga kemana-mana.

Masalah timbul ketika satu setengah tahun kemudian, Vica meminta Rasyid membawa hubungan mereka ke arah yang lebih serius dengan mendatangi orang tua Vica. Masalahnya adalah, seperti hampir kebanyakan orang tua berseragam, ayah Vica menginginkan putrinya bersanding dengan pria berseregam dari jajaran TNI atau POLRI, bukan pria berseragam jas putih yang kelulusannya saja masih dipertanyakan.

Sementara Rasyid adalah anak yang membawa prinsip bahwa tabu baginya melawan orang tua, maka ia memilih mundur dan menetapkan hatinya untuk bersahabat saja dengan Vica, meninggalkan Vica galau berminggu-minggu, curhat dan memaki-maki Rasyid tanpa henti. Hubungan mereka sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya, tidak lagi membuatku berada di posisi serba salah karena harus memilih salah satu dari mereka. Aku bersyukur karena mereka mau bersikap dewasa dan meninggalkan egonya masing-masing karena masih ada aku di antara mereka. Bagaimanapun, lewat akulah mereka bertemu dan tidak bijak jika mereka meninggalkanku sendiri hanya karena masalah hati yang masih bisa berubah kapanpun.

"Oh beda dong kalo itu. Ibram kan jelas dukungannya dari kedua belah pihak. Ibarat tiang penyangga nih ya, yang Ibram pake tuh tulang bambu, kokoh! Tinggal dia aja mau ngelurusin atau bengkok jalaninnya. Kalo gue mah apa, tulangnya masih pake lidi, digertak dikit langsung patah." Rasyid membela diri sambil tertawa membuat Vica manyun. Bisa keliatan kan, mana yang sudah bisa move on mana yang belum?

"Lagian nih Len, gue nggak habis pikir sama senior lo yang namanya Astrid itu. Kalo gue jadi elo mah ya ... catet Len nama suaminya. Tinggal pilih mau turunin bokap atau mertua lo, udah deh ... gue jamin seumur hidup bakal dinas di perbatasan tuh dia, nggak bakal deket-deket Monas." Ucap Vica segera mengalihkan perhatian dan seketika membat mood-ku terjun bebas mendengar nama Astrid.

"Emang ngeri ya ibu-ibu ini kalo udah marah segala macem backing-an diturunin semua." Gumam Rasyid yang masih terdengar olehku.

"Lo pikir gue nggak kepikiran sampai sana? Udah gatel banget gue telpon Mama sejak dia nyinyirin gue itu, tapi abis itu gue liat Ibram. Lah dia aja bisa sabar, masa gue nggak?"

"Tapi sifat tiap orang tuh beda Lin, Ibram sih kali aja hatinya udah bebel kali ya dinyinyirin. Tapi elo kan? Ya ampun lo dikatain operasi plastik sama orang aja galaunya sebulan." Kata Rasyid.

"Kalian ini paham nggak sih, sekarang tuh gue mau ngapa-gapain nama Ibram keseret juga. Ini aja gue masih harap-harap cemas sama kata-kata gue ke Astrid bakal ngefek nggak ke Ibram. Gue yakin nih dia dapet perlakuan lebih nggak adil lagi dari seniornya. Tapi mana pernah sih dia ngeluh? Apalagi ... waktu gue mau dianter balik ke sini itu Ibram tiba-tiba nasehatin gue, dia bilang ...

'Kalau ada orang yang jahat sama kamu, jangan langsung marah. Pertama, kamu harus janji sama diri kamu sendiri dan janji sama Allah kalau kamu nggak akan ngelakukan apa yang mereka lakukan itu ke orang lain. Kedua, percaya kalo setiap orang yang dipertemukan sama kamu, baik atau jahat, mereka akan kasih kamu pelajaran berharga buat jadikan kamu orang yang lebih baik. Dengan gitu, kamu bisa beajar maafin mereka, nggak baik nyimpen dendam kelamaan.' Nah, mau protes gimana gue, orang nasehat dia ada benernya?"

Rasyid dan Vica saling menatap satu sama lain, kemudian melihatku yang sudah mulai berkaca-kaca lagi, menggelengkan kepala mereka pelan.

"Gue rasa gue paham sekarang kenapa lo bisa jodoh sama Ibram, sifat kalian itu saling ngisi. Satunya bego karena terlalu mikirin perasaan orang lain, satunya lagi bego karena mau aja diinjek-injek sama orang." Kata Rasyid yang diikuti anggukan Vica.

"Iya tapi gue jadi kasihan sama Ibram ... tadi gue cerita-cerita sama si Om Gunawan, supir dia. Kasian deh suani gue, dia susah banget dapet temen yang bener-bener tulus temenan sama dia. Abang-abangnya tuh deketin karena ada maunya, ngasih tugas juga kadang nggak kira-kira yang nggak mungkin dia tolak. Akhirnya gue paham kenapa dia susah deket sama orang, susah percaya sama orang. Soalnya benteng yang dia bangun terlalu tinggi. Gue kasian sama dia tapi gue juga hopeless mau deketin dia nggak tau darimana."

"Ah elo Len ... gue jadi bingung kan jadinya mau sebel apa nggak sama Ibram." Ucap Vica.

"Gue mah yakin kalau Ibram perlu dilatih jadi gentleman. Silahkan deh lo sama dia bernaif-naif ria sama orang-orang yang udah jelas mau nusuk lo dari depan-belakang-samping kanan-kiri. Tapi ya itu, Ibram harus belajar kompak sama lo, terbuka sama lo kalo nggak mau nyakitin satu sama lain."

"Ah setuju gue sama Acid." Kata Vica sambil menepuk-nepuk pundak Rasyid. Acid sendiri adalah nickname Vica untuk Rasyid yang ia berikan setelah mereka berpisah. Acid, yang dalam bahasa Inggris berarti asam, menurut Vica sama-sama korosif, merusak hatinya sampai berkarat.

"Dan ngomong-ngomong soal gentleman nih, lo akhirnya dapet nggak bujangan buat dokter Fina? Karena gue denger sejak nggak lulusin lo, dia semakin beringas sama koas-koas."

"Hah? Serius?" tiba-tiba dadaku berdegup kencang, teringat ada satu masalah lagi yang harus aku hadapi sekembalinya aku ke rumah sakit.

"Iya ... kita-kita berharap banget nih lo nemuin obat penawar buat kegilaan dia belakangan ini. Korban-korban koas refresh berjatuhan, men. Lo udah dikirim belom jadwal lo jaga yang terbaru? Saking gemesnya sama lo, sampe dia sendiri yang bikin request jaga buat lo Lin."

"Ah sumpah lo? Demi apa?"

"Demi Allah Lina .... emang lo belom liat kabar di grup?" aku menggeleng lemas.

"Nggak ... gue nggak sempet buka hape selama gue di sana."

"Sorry to say nih, Alina ... but she makes sure you're living in hell in the next three months." Aku menjatuhkan kepalaku ke meja.

Hopeless .... hopeless everywhere ...

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang