Part 9

219K 23.1K 781
                                    

Hari kedua aku di asrama, setelah bangun pagi dan melihat sekeliling rumah, aku mulai mati gaya. Ibram sudah pergi sejak pukul lima pagi untuk apel dan entah apa lagi. Yag jelas, ia belum pulang sampai sekarang.

Aku ingin menghubungi Rasyid atau teman kelompokku yang lain tetapi mereka pasti sedang sibuk ujian sekarang. Vica pun sekarang sedang sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai branch manager di sebuah bank. Aku tadinya juga hendak berberes rumah, but I tell you the advantage of marrying a soldier : rumah lo rapi terus cuy! Nggak sia-sia deh negara bayarin cowok-cowok ini sekolah empat taun di akademi.

Aku melihat sekeliling kamar dan seketika teringat bahwa aku belum mengucapkan terima kasih kepada Ibunda Ibram atas hadiah yang beliau berikan. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi beliau via telepon. Setelah menunggu nada sambung beberapa saat, akhirnya Bunda Ibram mengangkat teleponku.

"Assalamu'alaikum Tante ... Ini Alina."

"Wa'alaikumsalam putriku sayang ... Alina, Bunda udah bilang kan jangan panggil Tante. Panggil Bunda aja kayak Ibram." Ucapnya lembut.

Bunda Hasna, adalah wanita kedua yang sangat kuhormati setelah Mama. Pertama kali aku bertemu dengan Bunda saat acara lamaran, aku langsung menyukainya. Jabatan tinggi tidak membuat Bundan Hasna bersikap sombong atau angkuh seperti pejabat-pejabat kebanyakan. Aura keibuan sangat terpancar dari senyum dan tatapannya membuatku terheran-heran kenapa sifat Ibram bisa berbeda jauh dengan ayah dan ibunya.

"Iya, maaf ya Bunda, belum kebiasa. Oh iya Bunda, terima kasih ya hadiahnya ... Cantik sekali interior kamarnya, Alin suka."

"Iya sayang, alhamdulillah ya kalau suka. Ini Alina sedang di asrama ya? Ibram dimana?"

"Iya Bunda, mau ada kunjungan Pangkostrad beserta Ibu besok. Mas Ibram masih apel dari subuh belum pulang, Bunda."

"Oh iya ya? Semangat ya Alin, selamat bergabung di giat persit perdana. Semoga lancar semua ya ... nanti kalau bingung soal apa-apa, tanya Bunda juga nggak papa kok.

"Terus Ibram ... gimana sama Alin? Masih galak nggak dia?" eh? Kok tau Bunda?

"Mmm ... mmm ..." gumamku karena tidak tau harus menjawab apa. Ya bayangin aja kalau mertua kamu tanya suamimu jahat sama kamu apa nggak, kalo misal dijawab 'iya' kan kesannya gimana gitu.

"Ibram pasti galak ya sama Alin?" tanya Bunda sambil setengah tertawa

"Hehe ... Alin bingung mau jawab apa Bunda."

"Maaf ya, Alina ... kalau Ibram nyusahin. Bunda kasih tau ya, Bunda dulu seneng sekali waktu tau kalau Alina yang akan jadi istri Ibram, karena Bunda tau Alina perempuan baik-baik. Mohon dimaklumi ya kalau Ibam galak, Ibram itu jarang main sama cewek kecuali sama kakak-kakak dia di rumah. Pacaran aja dia nggak pernah, maksudnya yang ketauan sama Bunda ya, nggak ada. Jadi pendekatannya harus ekstra, Alina harus sabar ya kalau hadapi Ibram. Oke?"

"Siap, Bunda." Tiba-tiba sebuah ide tercetus di benakku,

"Oh, iya Bunda ... mau tanya ..."

"Iya? Gimana nak?"

"Mas Ibram ... kalau di rumah sukanya makan apa ya?"

"Oh? Alina mau masak?"

"Iya Bunda ... coba-coba melumerkan Mas Ibram deh." Bunda tertawa di ujung sana.

"Wah iya, bener itu, dia kan suka sekali makan. Ibram paling suka makan soto betawi. Coba Alin ambil kertas, sini Bunda ajarin cara masaknya."

"Oke Bunda." Maka dimulailah perjuanganku memasak salah satu makanan kesukaan Ibram. Untungnya tak berselang lama ada tukang sayur yang lewat di depan rumah dan bahan-bahan makanan yang diperlukan pun lengkap. Masalah dimulai ketika aku sadar tidak ada bumbu jadi atau pun blender untuk menghaluskan bumbu soto, yang artinya ... aku harus menghaluskan semua jenis rempah yang disebutkan Bunda itu, dengan tangan. Kenapa makanan favorit lo bukan telur ceplok atau mie instan aja sih, Bram?

*

Ibram pulang ke rumah menjelang makan siang. Kulitnya semakin bertambah gelap akibat terpapar sinar matahari siang, keringat masih bercucuran di dahi dan pelipis juga dadanya. What? Dada? Oh shit ... Ibram nggak pake baju lagi! Kebiasaan banget sih tentara-tentara ini!

"Darimana?" tanyaku.

"Abis garjas." Jawabnya singkat.

Ketika melihatku sedang menata makanan di meja makan, ia mengerutkan alisnya heran.

"Kamu masak?"

"Iya. Sana kamu pakai baju dulu, atau mandi deh sekalian. Habis itu kita makan." Kataku tanpa menatapnya, kawatir akan membuyarkan konsentrasi dan membuat piring-piring di tanganku berjatuhan.

Tak lama, Ibram duduk di meja makan –untungnya sudah berpakaian lengkap- kemudian mulai mencicip masakanku. Aku menggigit bibir ketika Ibram mendekatkan sendok ke bibirnya, berharap semoga rasanya sesuai atau paling tidak mirip dengan masakan ibunya.

"Gimana? Enak nggak?" aku seperti menunggu juri Master Chef memberikan komentar. Ibram awalnya diam, mengecap-ngecap lidah, kemudian mulai mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Enak nih. Kamu pake resep darimana?" tanyanya kemudian mulai lahap menyantap soto di meja.

"Resep Bunda kamu. Aku tadi telpon beliau." Jawabku sambil tersenyum puas. Tidak sia-sia perjuanganku di dapur tadi jika bisa melihat Ibram memakan hasil masakanku seperti ini.

"Pantesan mirip rasanya ... Kamu telpon Bundaku? Ngomongin apa?" aku mengangguk.

"Banyak." Ucapku sambil mengingat petuah-petuah Bunda.

"Makasih ya ... ini enak." Ucapnya sambil tersenyum. Dua bulan pernikahan, dan itu adalah senyuman pertama Ibram yang ia tujukan padaku dengan tulus. Senyuman yang seketika memberikan rasa hangat di dadaku.

"Gitu dong ... Kamu itu ganteng loh kalau senyum." kataku yang membuat telinga Ibram memerah dan aku tertawa cekikikan menyadari reaksi Ibram atas godaanku ini.

"Kamu juga. Cantik." Katanya pelan tanpa melihatku tapi tetap saja membuatku terkejut.

"Wow... ini kayaknya pertama kali kamu muji aku ya? Kalau dari dulu aku tau cara bikin kamu lumer dengan makanan, kayaknya udah dari dulu aku masak buat kamu, Bram."

"Soalnya aku nggak sangka kamu tipe yang bisa masak."

"Memang kamu sangkanya aku tipe yang gimana?"

"Tipe yang hobinya ngabisin duit." Aku tertawa geli.

"Oh, tenang aja. Kalo Cuma ngabisin duit aja aku juga bisa kok. Isi ATM kamu itu aku habisin sehari juga bisa." Ibram menolehkan kepalanya ke arahku dan memberiku tatapan itu,

"Alina ..." panggilnya pelan, juga nada itu. Tatapan dan nada seorang ayah yang bersiap mengomeli putrinya yang meminta izin untuk keluar malam.

"Bercanda sayang ... kamu serius banget sih? Udah itu habisin ya sotonya. Aku mau siap-siap dulu, mau kumpul di kantor persit persiapan besok. Ada saran?"

"Pake baju yang sopan. Sebelum disuruh udah tuning duluan, jangan keliatan diem aja. Terus kalau disuruh ngapa-ngapain, kerjain." Aku menganggukkan kepalaku dan beranjak dari meja makan. Mungkin kalau aku sempat menoleh, aku masih akan sempat melihat wajah dan telinga Ibram yang berubah merah hanya akibat panggilan 'sayang'. Mungkin aku juga akan sadar bahwa ternyata suamiku memang sepolos itu.

Garjas : tes bulanan kesegaran jasmani. Untuk menilai & menjaga kemampuan fisik prajurit. Materinya terdiri dari  Garjas A dan B. Garjas A adalah lari aerobic sejauh 3.200 meter. Sedangkan Garjas B terdiri dari Pull Up, Push Up, Sit Up dan Shuttle Run.

Sillage (Doctor Soldier Romance)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang