Pengorbanan 2

205 13 1
                                    

Cahaya redup berhasil menusuk menelusuri rentina onyx kelam sang Uchiha. Bebarapa detik lalu Madara sadar dari tidurnya dan mulai menyadari dirinya sudah dibawa ketempat lain. Tanpa teman temannya.

Lupakanlah itu. Tubuhnya masih sibuk bergerak untuk lepas dari jeratan besi yang menyegel pergerakannya. Giginya bergesek tajam seakan marah akan keadaanya sekarang. Merasa percuma, netra onyx yang masih belum terbuka sempurna itu menjurui seisi ruangan yang ia tempati.

Dirinya kembali menghembuskan nafas berat sesaat berhenti memberontak akan benda yang mengikatnya. Tak ada penerangan. Ruangan ini gelap gulita.

Dari balik bayang bayang, Madara melirik kepada cahaya yang menerobos masuk di bawah celah pintu keluar. Seseorang akan masuk. Percuma saja kembali tidur, ia akan berpura pura.

Daun pintu berdecit ringan, membuat Madara tak sabar melihat siapa yang berani membawanya kemari.

"Coba cek sekali lagi. Dia mungkin sudah sadar."

Sontak menelan ludahnya berat. Madara sedikit gemetar saat mendengar perintah dari salah satu orang disana. Bagaimana jika mereka tau bahwa bocah Uchiha ini sudah sadar? Habislah sudah, si raven mendengar suara langkah kaki mendekat.

Eh?

Perlahan tapi pasti. Suara itu terdengar menjauh dan berhenti tepat di pojokan dinding sana. Madara tau tempatnya karna pintu membiarkan masuk cahaya yang terang-tidak terlalu terang sih- tapi tunggu dulu. Kaos putih dan surai bisque cerah membuat matanya terbuka lebar.

Sasaki juga disini.

Seorang yang tampaknya dewasa itu mengangkat wajah Sasaki dengan kasarnya membuat onyx malam itu bisa melihat jelas raut wajah cemas Sasaki. Walupun ia masih tertidur.

"Masih seperti kemarin"

Kemarin? Sudah berapa lama aku disini?

"Lalu bocah Uchiha itu." Madara tersentak. Mencoba untuk tenang agar penyamarannya tak terbongkar.

Sama seperti halnya Sasaki, lelaki itu mengangkat wajahnya dengan kasar. Madara merutuk dalam benaknya.

"....Dia juga sama.."

Hening selama beberapa detik. Suasana sempat berubah tapi Madara tak mau ambil peduli. Menurutnya, mungkin kedua orang itu sudah pergi. Sayup sayup cahaya redup sudah tak lagi dirasakannya saat matanya mengatup. Ia mulai penasaran.

Brugghh

Akhh!

Segaris merah tomat jatuh setelah terkumpul di dalam mulutnya yang terbuka seketika. Matanya tak sengaja terbuka karna reflek terkejut dan sakit bercampur menjadi satu. Kepalanya masih menunduk dengan melihat perutnya yang baru saja di tinju kasar.

"Sudah kuduga. Ia sudah sadar dari tadi. Untung aku menyadarinya" ucapnya kemudian

Untung dari mana?! Menggunakan kekerasan untuk membangunkan seseorang itu tidak sopan tahu. Darah yang mengalir dari dagunya itu ingin ia seka, tapi tak bisa tubuhnya masih tetap tak bergerak.

"Hei bocah jangan berpura pura. Kami shinobi senior lebih tahu keadaanmu melebihi angan anganmu. Tapi lebih baik jika kau tidak bermain di hadapan atasan kami. Sungguh, kau tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti" jelasnya sedikit lebar manatap intimidasi lelaki kecil di hadapannya.

Kepalanya terangkat menatap wajah puas kedua orang dewasa di dekatnya. "Jika pemimpin clan kami sudah datang kemari jangan harap kau bisa lolos darinya. Semua perintah yang di keluarkannya mutlak. Oh ya, jangan lupakan bahwa ia juga akan memberi kalian berdua hadiah"

"Ha..diah? Akhh!"

Ucapan selamat tinggal dari mereka berdua sungguh menyayat hati. Bagaimana tidak. Perlakuan mereka tehadap anak kecil di depannya sangat tidak wajar. Seharusnya pemimpin merekalah yang memutuskan untuk menghakiminya.

Pintu di tutup kasar. Membuat kejut Madara yang walaupun masih panik. Darah masih merembes keluar dari bibir pucatnya. Onyx kelamnya masih belum terbuka sejak kedua orang itu menghajar dirinya. Tangannya  mengepal, ingin menyeka tapi tak bisa.

Sontak manik malamnya terbangun sesaat ia mengingat statement terakhir dari salah seorang tadi. Onyx-nya terbuka semampu. Melirik perempuan yang masih pingsan di pojokan. Ingin memberontak, tapi tenaga dan chakranya sudah terkuras habis-ini karna besi jeratan ini.

Ia kembali diam, membuang nafas beban.

"Ma, Madara?"

Surai ravennya kembali bergerak, mengikuti gerakan kepalanya yang terangkat spontan saat sang caramel memanggil patah patah.

"Ka, kau tidak apa apa?"

"Aku baik. Saki...berdirilah" Saki tampak heran tapi tak menggubris perintah sang raven. Dengan tertatih, gadis Hyuuga berdiri dengan masih terjerat.

Madara tampak bergerak, merogoh celah saku kimononya dengan bantuan jeratan tangannya yang melonggar. Ia  mengambil kunai dan melemparkannya tepat di borgol pergelangan targetnya. Maka, satu korban lepas. Lalu bagaimana yang lain?

"A, aku akan melepaskanmu!" Ucapnya lagi

"Tidak perlu!" Sasaki terkejut. Ia bisa mendengar itu adalah nada serius.

"Pergi sekarang Sasaki!" Perintahnya  lagi, dan itu sukses membuat pecah lamunan sang Hime.

"Ta, tapi kau ba, bagaimana? Aku tak akan pe, pergi tanpamu!" Balasnya serius.

"Sebentar lagi mereka akan datang. Pergilah." Madara mencoba lembut.

"Ta, tapi....Ma, Madara-.."

"PERGILAH DASAR PAYAH!!"

Hening. Seusai raven meronta karna marah pada temannya yang keras kepala ini, ia kembali terdiam kembali mengambil pasokan udara. Raut wajah marah ia lampiaskan pada seorang Hyuuga yang terdiam. Madara dan Sasaki saling menatap antara terkejut dan sedih. Pipinya meronta merah karna menahan tangis meledak. Tapi tak tertahankan.

"Hiks, hiks....Baik! Baik, aku akan pergi! Pergi menjauhimu dan tak akan kembali menyelamatkanmu! Hiks, kau jahat Madara! Kau sungguh lelaki yang  tidak berperasaan!!"

Sasaki merasa sedih, disisi lain ia juga merasa kecewa. Tapi lama lama ia ingin pergi dari suasana mencekam ini. Setetes air mata sedih meluncur cepat dari pelupuk matanya.

Tanpa menunda, ia berlari keluar melewati jendela dan meninggalkan Madara dengan acuh.

Pria Uchiha itu kembali tenang. Ia tak menyangka Sasaki akan salah paham seperti itu. Tapi,

Akhirnya aku bisa menyelamatkannya.

Team 1Where stories live. Discover now