Bagian 15

59.3K 4.5K 211
                                    

Beberapa hari ini Rangga tidak kunjung tenang. Bukan saja soal dimarahi keluarganya. Dia masih kepikiran wajah Syafa. Tatapan marah dan terluka malam itu terus muncul di kepala.

Ingin sekali dia meminta maaf, akan tetapi kesempatan tak pernah berpihak padanya. Pasca ketololannya malam itu, dia tidak pernah lagi bertemu Syafa baik di kampus maupun di MH. Padahal biasanya Syafa muncul di tempat-tempat yang sering dikunjunginya.

Rangga mengetuk-ngetukkan jari di atas meja belajarnya. Dengan apa dia akan minta maaf? Menemui langsung? Tidak yakin Syafa bakal mau. Meneleponnya? Tidak ada teman Syafa yang mau membagi nomor kontaknya. Inbox di salah satu akun sosmednya? Dia tidak tahu Syafa memakai nama apa di jejaring sosial itu.

Apa menulis permohonan maaf via surat pendek? Surat itu akan dititipkannya pada Keyra? Ehm, sahabat Syafa itu bisa jadi tidak tahu kasus mereka. Lalu, pada siapa?

Rangga belum tahu jawabannya. Dia mengambil selembar kertas dan mulai mencoretinya.

To. Syafa

Sya, maaf telah membuatmu terluka.

Rangga

Sudah. Begitu saja kalimat maafnya. Rangga kemudian melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam amplop. Mungkin nanti sore dia akan menitipkannya pada salah satu pegawai cafe MH.

Permintaan maaf itu selain sebagai penebus kesalahan juga modal maju ke langkah berikutnya. Semakin hari rasanya semakin ingin dia melalui hari bersama Syafa. Melihat wajahnya saja hati mungkin akan menjadi tenang, lapang, dan bahagia. Bagaimana kalau setiap hari selalu parasnya yang pertama kali dilihat?

Ugh...
Surga dunia, kan?

Kalau sempat, sepulang dari menitip surat nanti dia akan mampir ke rumah kakak sepupunya. Dia akan sedikit konsultasi soal menikah saat kuliah.

Ave, kakak sepupunya yang kebetulan menikah muda mungkin bisa membantu. Minimal, membuat Rangga yakin untuk melangkah maju, yaitu mengkhitbah Syafa. Entah kenapa ide untuk menikahi Syafa itu muncul seiring dengan rasa bersalahnya. Mungkin dengan begitu dia bisa kembali menjalani hari dengan tenang.

Sebuah panggilan dilakukan. Menunggu nanti, membuat Rangga tidak sabar

"Haloo. Acalamuikum."

Rangga mengernyitkan dahi. Bahasa planet yang terdengar mirip dengan logat Masha ketika masih kecil. Ah, pasti ini salah satu si Kembar.

"Wa'alaikumsalaam. Ini Syafa, ya? Apa Syifa? Abi-nya ada, Fa?"

"Capa. Daa ... Biiiii, pon, Biiii!"

Suara teriakan nyaring dari seberang membuat Rangga menjauhkan ponsel.

Syafa, Syafa. 

Eh, kok seperti jodoh saja. Dia ingin membicarakan Syafa dan yang mengangkat telepon si Kecil Syafa.

"Assalaamu'alaikum. Kenapa, Lang?"

Suara Ave menarik perhatian.

"Wa'alaikumsalaam. Lang, Lang, Lang, memangnya belalang," jawab Rangga tidak suka.

Ave tertawa mendengar jawaban Rangga.

"Aku nggak manggil belalang, kamu malah yang bilang. Lagian bagusan dipanggil Lang, biar keren kayak Elang."

Rangga berdecak, bicara dengan Kak Ave itu memang selalu panjang urusannya.

"Kak," panggil Rangga, tandanya dia mengajak bicara serius.

"Ya?"

"Kenapa dulu Kak Ave mutusin nikah muda?"

"Nikah muda? Mungkin karena waktu itu gejolak jiwa muda kali, ya? Apa yang disuka ya harus didapat. Kebetulan dari pertama bertemu Nada, langsung jatuh cinta. Keren kan jatuh cinta pada pandangan pertama?" tanya Ave balik.

Serenyah RasaWhere stories live. Discover now