28 | Ombak Sejinak Bayi yang Terlelap Tidur

48K 4.8K 847
                                    

Teman-teman yang nanyain IG atau sosial mediaku yang lain itu semuanya sama namanya ya, template banget @nauraini dari mulai twitter, ig, tumblr, askfm, steller kalau facebook, facebook.com/nauraini23 haha sudah dijawab ya yang nanya ini.

ps. aku ada pertanyaan penting di catatan nanti, boleh dibaca dan ditanggapi hehe :3

Enjoy reading 😉

●●●

Bara api tiki torch yang dibuat sang Bunda di banyak titik di halaman rumah menjadikan pagi selepas Subuh itu bagaikan dingin yang bersahabat. Sejak Ayahnya mendapat proyek di Australia, mereka sekeluarga sudah jarang ke Bandung menghabiskan waktu bersama.  Dulunya setiap dua minggu atau satu bulan sekali tak pernah absen.

Aurora menjejakkan kaki di rumput basah dengan kaki telanjang. Merasai dinginnya pagi di Bandung dan perlahan membandingkannya dengan dingin hatinya. Orangtuanya pasti sedih dan kecewa. Kali ini, dia yang biasanya paling semangat kalau sudah liburan, harus menjadi orang yang membekukan suasana.

Selepas bangun tidur setelah kejadian semalam, belum ada yang mengajaknya bicara secara serius lagi. Lagipula, kesan yang dirasakan Aurora adalah liburan kali ini merupakan arena persidangan untuknya. Jadi sudah sepantasnya untuk tidak ber haha hihi kan?

"Dek, lari pagi yuk!" sapa suara di belakangnya, milik Ayahnya. Ayahnya sudah siap dengan celana training, sepatu olahraga dan kaos biru muda-nya.

Aurora mengangguk dan sejenak berlari ke dalam rumah untuk mengambil asics running shoes favoritnya. Sepatu yang selalu dipakainya kalau lari pagi dengan ayah dan kakaknya kala berlibur di Bandung. Pagi itu, tak terlihat ada kakaknya bersama ayahnya.

Tadi, Aurora sengaja salat duluan di kamar agar tidak diajak salat berjamaah. Entah apa yang dia hindari. Padahal salat berjamaah bagi keluarganya adalah ritual paling sakral yang harus terus diusahakan untuk dilakukan bersama.

Aurora, Aurora. Entah apa maunya dia.

Menarik diri dari dunia, lalu dia mau kemana?

Lari-lari menolak dan menyangkal, hanya bukti dia tak beranjak dari fase denial.

Sepanjang jalan berbatu yang dilaluinya dan ayahnya, Aurora hanya diam. Sesekali napasnya memburu dan terengah. Sesekali dia menarik napas panjang menghirup udara pagi yang masih menyisakan basah.

Mereka berdua sudah lumayan jauh dari rumah. Kanan dan kiri hanya nampak perkebunan warga yang banyak diisi tanaman sayuran dari mulai sawi, lobak, wortel, tomat dan cabai. Juga satu dua ada polybag-polybag stroberi berjajar seperti di kebunnya.

Di ujung jalan ada pertigaan kecil melewati garis pematang kebun. Ayahnya berbelok. Jalan pintas untuk menuju rumahnya melewati perkebunan. Biasanya di sini karena tidak bisa berlari-lari, Aurora, Ayah dan Antariksa akan berjalan pelan sambil berbicara ini itu dan sesekali diselingi banyolan Aurora dan godaan Ayah. Antariksa seringnya hanya menjadi pendengar yang baik dan sebagai penyumbang tawa.

Sebelum mereka berbelok pada pematang itu, Ayah berjongkok di depan Aurora. Aurora mengernyitkan dahi bingung atas perlakuan Ayahnya yang menyediakan punggung dalam pandangannya. Tak ada tanggapan selama beberapa saat, Ayah menepukkan tangan kanannya ke arah punggungnya.

"Yah...," suara Aurora pelan tak yakin.

Sekali lagi ayah menepuk punggungnya sambil mendongak ke belakang menatap Aurora memberi isyarat. Aurora masih ragu-ragu. Berat badannya berapa? Yakin nih Ayah kuat? Ngga bakal oleng gitu? Nanti yang ada mereka malah nyungsep ke tanah lagi.

CompliantwinМесто, где живут истории. Откройте их для себя