11 | Abdi Bogoh ka Anjeun

60.1K 5.1K 1.1K
                                    


Dahi Aurora berkerut-kerut dan itu menjadi pemandangan yang menyenangkan untuk Arlo. Entah apa yang salah pada dirinya, suka sekali dia melihat wajah Aurora yang berkerut seperti itu. Membuat dia geregetan sendiri untuk sekedar menyentuh dahi itu dan mengusapnya. Tapi orang bodoh mana yang berani berurusan dengan makhluk galak macam Aurora?

Arlo, Arlo, kamu memang hebat. Atas alasan apa kamu melakukan ini semua? Menahan Aurora selama dua jam sepulang sekolah dengan modus mengajari dia capital budgeting sebagai pemahaman manajemen keuangan dasar? Bah! Pintar-pintar. Dan kau akan tertawa-tawa waktu Aurora ngomel-ngomel saat dia kesulitan menentukan net present value? Cerdas sekali!

"Kampret gini doang ternyata, goblok amat sih gue," seru Aurora tiba-tiba setelah mengangkat sedikit kepalanya dari kertas coretan.

"Baru sadar?" tanya Arlo dengan wajah sarat ejekan.

"Diem lo kampret. Seneng 'kan lo lihat gue kesiksa gara-gara hell payback period ini?"

Arlo mendekati Aurora yang duduk di lantai. Sisi rambut Aurora yang menjuntai memenuhi pandangannya. Lama-lama bisa gila dia karena sebegitu pengennya memegang rambut itu. Karena tak mungkin, akhirnya dia hanya menempeleng pelan kepala Aurora. Kurang ajar benar emang. Si Aurora langsung mendelik sangar dengan kelakuan Arlo barusan. "Lo kalo punya tangan dikontrol napa? Tambah bego gue ntar."

"Bego sih bego aja. Mulut lo itu yang dikontrol, ngampret-ngampretin orang doang jagonya. Ngitung pembagian aja masih pake kalkulator."

Aurora sudah akan membalas, tapi ingat kalau sudah berdebat dengan Arlo tak akan ada habisnya, dia memilih diam saja. Dia melanjutkan berkutat dengan angka-angka menghitung investasi sederhana dari soal-soal yang diberikan Arlo. Heran? Itu yang terjadi pada Aurora sebulan yang lalu.

"Apa yang paling lo inget dari perjalanan lo ke sini?" Arlo bertanya pada Aurora yang sedang mengarahkan kamera pada matahari yang baru saja menyapa bumi. Sunrise di gunung memang hal yang selalu menakjubkan.

Aurora menghembuskan napas beberapa kali sehingga membentuk uap lalu menjawab pertanyaan Arlo, "Gunung Gede dulu adalah gunung pertama yang saya daki, Kak. Jadi kesannya masih sangat membekas, apalagi waktu lihat kabut dari kawah. Dan yang paling saya ingat waktu kakak-kakak pecinta alam ngibarin bendera merah putih rasanya syahdu sekali," kata Aurora memperagakan mimik syahdu sesuai persepsinya, lalu berkata lagi, "saya kan ke sini waktu tujuh belasan."

Arlo terkekeh sebentar, "Lagi free time kali, kaku amat lo. Udah resmi jadi pengurus Nusapacita juga. Seneng 'kan lo bisa ngampret-ngampretin gue lagi?"

Aurora mendengus, "Tai lo emang. Sengaja 'kan lo semalem nyuruh gue gangnam style depan senior?"

Arlo reflek tertawa sampai matanya menyipit, baru juga disuruh bersikap santai, si Aurora langsung bayar tunai. Dan Aurora sudah ketar-ketir sendiri mendengar tawa Arlo. Kampret-kampret, ini orang kalo ketawa enak banget suaranya di telinga gue, begitu isi batin Aurora.

"Lo gimana bisa nemuin si Suci semalem?" tanya Arlo tanpa melihat Aurora. Pandangannya tampak ikut menikmati pergerakan matahari menuju posisi bersahajanya.

"Sebelumnya gue udah bilang sama anak-anak yang cewek, kalau tiba-tiba kena badai langsung cari cantigi," jawab Aurora kalem. "Si Suci untungnya ngga panik. Dia berlindung di balik cantigi. Anak-anak yang cowok udah kerepotan nenangin cewek yang lain. Yaudah untung-untungan gue sama Dea nyariin dia. Ngga jauh kok dari shelter."

Tuhan, kenapa Kau hadirkan perempuan seperti ini ke hadapanku? Arlo membatin lirih. Gunung ... selalu menghadirkan kesepian yang menenangkan baginya. Dan dengan adanya Aurora di sampingnya, kesepian itu menjelma ketenangan seutuhnya.

CompliantwinWo Geschichten leben. Entdecke jetzt