5. Un-forgetable.

14 2 0
                                    

Siapa sih yang tidak ingin melihat orang tuanya bahagia? Siapa juga sih yang tidak ingin melihat senyum kebanggan keluar dari bibir orangtua kita?

Sebenarnya, aku sudah lelah untuk menjalani rutinitasku selama di kelas 9 ini. Tapi aku akan terus berjuang, dan membuat semua mimpi orangtuaku menjadi kenyataan.

Mereka hanya ingin aku bahagia dan sukses dalam semua hal, tak terkecuali mereka ingin aku masuk ke SMA unggulan itu.

Aku sudah berusaha sekeras mungkin, sibuk menyiapkan syarat - syarat pendaftaran yang seubrek, dan berlatih mengerjakan soal - soal, walaupun pada akhirnya aku tidak bisa mengerjakan Ujian Nasional dengan baik karena kurikulumnya berbeda, sehingga aku hanya bisa mengikuti sampai semampuku saja.

Tapi aku hanya bisa berdo'a kepada Tuhan agar Dia mau memberikan rahmatnya kepadaku.

Saat itu seusai Ujian Nasional, kami serempak diliburkan. Hanya saja pada hari - hari tertentu kami harus berangkat ke sekolah untuk piket.

Rasanya lega sekali bila sudah mengerjakan Ujian Nasional, padahal setelahnya masih ada beban lagi yaitu saingan masuk ke SMA, dan aku mengaharapkan masuk ke SMA unggulan itu.

Saat mendekati masa pendaftaran dan pengumuman kelulusan, aku dan beberapa temanku yang cerdas mencoba mendaftarkan diri ke SMA unggulan itu.

Masuk ke gerbangnya saja aku sudah dilumuri rasa tidak optimis. Mana lagi saat aku mengingat sekolah ini dahulu menjadi sekolah Bupati kotaku yang sekarang baru menjabat.

Aku sendiri sadar akan kadar kemampuan otakku. Aku mendaftar hanya ikut kemauan orangtuaku, karena selebihnya aku sebenarnya ingin masuk ke SMK saja. Tapi, mengingat semangat seseorang yang ingin menjadi pegawai perpajakan itu, juga sedikit sudah membuatku berubah pikiran dan lebih semangat untuk menjalankan tes hari ini.

Aku tak lagi ingin mendaftarkan ke SMK, tetapi aku ingin masuk ke SMA unggulan itu juga walaupun pada dasarnya aku saja tidak yakin pada diriku sendiri.

Waktu pemetaan les sesuai kecerdasan per kelas, aku hanya masuk ke kelas B, sedangkan dia-- laki-laki yang kumaksud berada di ruang A.

Oke, aku tahu dia memang sangat mengagumkan.

Punya segudang prestasi, soleh, santun, sopan, ramah, murah senyum, cerdas, rupawan pula. Astaga, bila aku mengingat sekilas senyumnya saja, hatiku sudah berdebar tak karuan.

Dulu, tiap aku melihatnya aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Karena dia tidak pernah berada di dalam satu kelas denganku walaupun aku sebenarnya sangat menginginkannya. Maka dari itu, aku ingin masuk ke SMA unggulan itu agar aku bisa terus melihatnya saat berada di sekolah.

Sungguh, melihatnya melakukan sholat saja hatiku sudah merasa tentram.

Dia.. Benar - benar ideal, tipeku, dan kalau Tuhan mengizinkan, aku ingin memiliki jodoh seperti dia. Atau kalau aku bisa meminta, aku ingin dia saja.

Tes masuk ke SMA unggulan itu berjalan dengan hikmat, waktu itu mungkin banyak berkah karena bertepatan dengan bulan ramadhan. Aku yang muslim mutlak puasa, dan mengikuti tes itu dengan kepala yang sampai panas.

Aku terus mengerahkan kinerja otakku, tapi sayangnya aku tidak bisa menyelesaikan soal - soal Matematika itu karena suatu kejadian memalukan terjadi.

Ada seorang guru penjaga tes yang kepo tentangku, dia seenaknya sendiri mengambil kertas soalku padahal aku belum selesai mengerjakannya. Sungguh, waktu berhargaku untuk mengerjakan soal jadi hilang hampir lima belas menit lebih karena guru wanita gila itu melihat soalku terus.

Aku ingin berteriak ke mukanya waktu itu juga, tapi karena aku tak ingin reputasi SMPku jatuh, jadi aku hanya memilih diam.

Dan sampai sekarang bila aku mengingatnya, rasa sakit hatiku tak bisa terbendung lagi. Aku yang memang bukan anak keluarga berada, dari sekolah kelas menengah, juga tak sepandai Albert Einstein ini merasakan terhina luar biasa.

ClarityWhere stories live. Discover now