6. Ancaman Yang Menjadi Kenyataan

37.8K 2.3K 25
                                    

Meta menatap rumah yang berada didepannya. Melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Dia merapikan dress yang dikenakan, memantapkan diri masuk kedalam dan mencari alasan yang tepat kenapa dia sampai pulang malam.

Dia membuka pintu dengan perlahan, gelap gulita. Menghela napas lega, berarti suaminya itu belum pulang. Ia mencari saklar lampu yang memang tak jauh darinya.

"Kenapa tidak menyalakan lampu?" Meta tertegun mendapati suaminya yang duduk disofa, pandangannya lurus kedepan. Dia menyadari sesuatu yang aneh. "Sayang, nggak papa?" menghampiri Zico dan duduk disebelahnya, punggung tangannya terangkat untuk menyentuh kening Zico, mungkin saja dia sakit. "Normal," ujarnya pada diri sendiri.

"Apa yang harus aku lakukan?" ucap Zico sambil menelusupkan kepala pada kedua tangannya.

"Sayang kenapa?" tanya Meta sekali lagi. "Memangnya apa yang harus kamu lakukan?" sambil mengguncang-guncang tubuh Zico.

Zico menegakkan badannya, menoleh kearah kanan. "Kamu sudah pulang?" tanya Zico menyadari kehadiran istrinya. Mengecup bibir Meta sekilas kemudian dipeluknya dengan erat. Dihirupnya aroma wanita yang dirindukan seharian ini.

"Kamu kenapa? Lagi ada masalah dikantor?" Zico menggeleng.

"Aku hanya khawatir jika istriku yang cantik ini tidak akan pulang kerumah," jawabnya santai.

Meta menepuk bahu pelan Zico, menelusupkan kepalanya pada bahu Zico, "Aku pasti kembali, apapun masalahnya aku pasti kembali. Aku hanya membutuhkan udara segar untuk menjernihkan otakku."

"Apa itu sudah berhasil?"

"Ya. Aku akan mencoba selama tiga bulan ini, kita akan berusaha untuk mempunyai bayi dalam tiga bulan ini," Meta yakin akan ucapannya, dia yakin keajaiban akan datang. Tapi, jika memang keajaiban itu tidak ada dia masih mempunyai rencana lain, walaupun hatinya akan tercabik-cabik. Dia akan menanggung resiko itu.

"Jangan bilang kamu kehasut sama perkataan Mama. Dia hanya bercanda. Kita jalanin saja seperti biasanya, hidupku sudah sempurna karena kamu berada disampingku," Zico mengecup puncak kepala istrinya dan digengamnya dengan erat tangan wanita yang dicintainya.

"Tidak!" Meta menegakkan badannya. "Kita akan mempunyai bayi dan itu akan terjadi dalam waktu dekat. Aku percaya itu," ucapnya lagi.

Zico menatap istrinya dengan nanar. Seberapa besarkah keinginan istrinya itu untuk mempunyai anak? Apakah sebegitu besarnya arti seorang bayi dalam keluarganya?

Zico mengangguk, "aku percaya. Kita akan mempunyai anak sebentar lagi," Zico mengecup perut Meta. "Tumbuh disana ya sayang?" jika ini membuatnya bahagia, dia akan mempercayainya.

Pagi-pagi sekali Meta sudah merencanakan semuanya, dia akan berkonsultasi dokter siang ini. Dia yakin akan ada cara supaya dia hamil. Zico mungkin tidak akan bisa mengantarnya, tidak apa-apa ada Aina yang pasti akan menemaninya.

Meta melonggarkan jam kerjanya, dia hanya akan menerima pemotretan seminggu dua kali. Di ingin fokus pada program kehamilannya.

Setelah konsultasi selesai Meta mengajak Aina makan ketempat favoritnya.

"Semoga saja semuanya lancar," harap Aina. Meta mengangguk semangat.

"Terima kasih ya, sudah mau menemani aku. Kamu nggak sibukkan?" Aina menggeleng, dia memang sedang cuti selama dua hari. Sebenarnya Aina berniat untuk membuat resep makanan terbaru ketika cuti, tapi ternyata takdir berkata lain dia bertemu dengan wanita cantik yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri.

"Kak Meta memangnya mau minta bantuan aku apa?" Aina mengingat ketika mereka dipantai.

"Oh, itu sekarang nggak penting," Meta mencoba mengalihkan perhatian. "Kemana kedua abang kamu? Kenapa kemarin nggak kelihatan? Aku ingin mengucapkan terima kasih karena sudah diperbolehkan berteman denganmu."

Aku, Kamu Dan DiaWhere stories live. Discover now