Chapter 16

2.1K 129 16
                                    

"Masa lalu memang ada, jangan hilangkan, biar saja, untuk dijadikan sebuah pelajaran. Pelajaran dari masa lalu adalah pendewasaan yang tepat pada diri masing- masing"

-Chaniello-
.

.
.
.



"Begini, Airin..."

"Astaga" Arin mengaduh. "Kamu sudah mengucapkan satu kata itu berulang kali"

"Aku bingung harus memulainya dari mana. Alven, jangan hanya aku yang berbicara!" protesnya.

"Aku?" tanya Alven santai.

Sesungguhnya Alven sudah tak tahan untuk memberitahukan rahasia ini kepada Airin sejak lama, karena ia tahu, inilah yang bisa saja menjadi penghalang hubungan mereka. Hanya saja, selalu Difa yang menahan dengan alasan belum siap. Dan Alven mengerti akan hal itu, mungkin ini juga sulit untuk Difa, yang sama saja membuka luka lama itu.

"Kalau begitu Alven, coba kamu yang jelaskan. Kalau aku tunggu Difa, sampai aku tinggal dia tidur lalu terbangun lagi, maka dia masih akan tetap sama, menggigit bibirnya seperti itu." ucap Airin sedikit tertawa meledek wajah tegang Difa yang sedikit berkeringat.


Alven menghela nafasnya sebentar. "Baiklah sayang, Difa adalah adikku. Ada yang masih ingin kamu ketahui?"


Mata Airin membulat. "Oh, Tuhan. Tidak, Alven. Bagaimana bisa?"

"Bagaimana bisa?" Alven tertawa. "Hanya Papa dan ibunya Difa yang tahu kalau prosesnya"

Tuk..

"Aw sakit, ai" keluh Alven mengusap kening yang di sentil gadisnya dari samping.

"Bukan itu maksudku, bagaimana bisa kalian kakak beradik. Bukankah kamu seorang anak tunggal, Alven?"

Setelah rahasia ini terlanjur terbuka, maka Airin harus tahu juga seluk beluk semuanya.

"Iya, dari Helen, ibuku, hanya aku anaknya. Tapi bukan Papa jika bertahan dengan satu wanita. Kamu bisa tanyakan pada dia siapa nama aslinya" lanjut Alven menunjuk ke arah Difa yang masih mematung.

"Ap.. Apa?" Dan masih saja gugup.

Dari tempatnya, Jo mengisyaratkan Difa untuk mengambil nafas agar tetap menjaga ketenangannya. Untuk terus menguatkan gadisnya.

"Namaku, Renanda Leidif Franders. Tapi itu yang seharusnya. Sayang, marga Franders tak diizinkan menjadi akhiran namaku oleh pemiliknya. Dan Difa, nama itu adalah nama mendiang ibuku."

Airin semakin menggelengkan kepalanya. "Lalu kalau begitu, apa yang membuat kalian seperti tak ingin saling mengenal?"

"Aku sakit hati kepada keluarga Franders, Airin. Aku sakit hati!" katanya mulai terisak. "Dari banyaknya wanita yang tidur dengan tuan kaya itu, memang hanya tante Helen dan ibuku yang justru mengandung. Tapi mengapa nasib kedua wanita itu harus berbeda. Tante Helen, sebelum Alven lahir, langsung di nikahkan olehnya, tapi ibuku? hanya seorang diri membesarkan kandungannya di gubuk kecil pinggiran kali. Beruntunglah, tante Helen adalah wanita berhati malaikat, dia mengajak ibu dan aku yang masih bayi untuk ikut tinggal dirumah megah itu. Sampai aku dan Alven tumbuh besar seiring waktu. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Kami saling menguatkan. Perlakuan tuan Franders sangatlah berbeda kepada kedua anaknya, tapi Alven, akan terus mendukungku. Saat hanya dirinya yang di belikan mainan, di belikan makanan, atau hal baru lainnya, maka dia akan berbagi denganku. Kami bahkan disekolahkan di tempat yang berbeda. Saat Alven di sanjung semua orang karena anak dari pengusaha kaya, aku hanyalah anak perempuan biasa yang tidak boleh menyandang marga dari sang ayah. Itu sangat menyakitkan, ai, ketahuilah itu" Ia mulai sesegukan dan terduduk.

Be Mine? [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang