Chapter 7

5.5K 274 3
                                    



"Bagaimana keadaan ibumu?"


Alven melirik sekilas pada Airin yang sedang sibuk dengan berkutat pada dokumen penting diatas mejanya. "Kau yang tinggal bersamanya sejak beberapa lalu kau kembali. Lalu mengapa kau harus bertanya padaku? Kau yang suaminya, sudah seharusnya kau sendiri tau bagaimana kondisi istrimu! Itu juga jika kau menganggapnya!" ucap Alven pelan penuh penekanan.


Aldion terdiam sejenak. Bola matanya mengikuti arah kemana mata Alven melirik. "Jadi karena wanita itu, kau berbicara pelan padaku?" Aldion berdecih "Kau malu, Alven? Ya memang sudah seharusnya kau malu karena selalu bersikap sopan kepada papamu sendiri!"


"Sikapmu tidak pernah menujukan kesopanan kepada kami. Lalu untuk apa aku harus bersikap sopan padamu? Aku masih menganggap kau adalah papaku, karena jika tidak, sudah aku bunuh kau sejak lama!" Alven menggeram


Airin beranjak dari duduk. Merapihkan dress bagian bawah yang sedikit berantakan. Membawa beberapa berkas lalu melangkah menuju Alven dan Aldion yang masih setia berhadapan saling menatap tajam.


"Maaf pak Alven dan...... pak Aldion. Saya harus permisi karena ada sesuatu hal yang harus saya urus pada bagian arsip" ucap Airin ramah

Alven berjalan mendekat. Tangannya menyibakkan rambut Airin ke belakang leher jenjang gadisnya. "Kembalilah segera. Aku akan sangat merindukanmu"


"Pasti. Kendalikan emosimu, Alven. Tidak baik kau berbicara seperti itu kepada papamu. Tidak etis juga jika ada yang mendengar keributan kalian. Jika memang kau membencinya dan tidak mau bersikap sopan padanya. Maka lakukan ini demi aku. Demi aku yang tidak mau nama baikmu justru menjadi perbincangan para pekerja disini" Jelasnya. Tanpa disangka, Airin tersenyum tipis. Ia pun tak paham mengapa dirinya bisa tersenyum kepada lelaki yang sudah membuatnya pusing setengah mati.


Dibelakang mereka, Aldion terhenyak. Tidak menyangka jika Alven bisa bersikap seperti itu kepada wanita luar. Aldion tidak menyangkal jika anak sematawayangnya itu banyak digilai oleh para wanita. Dan tidak jarang dari anak para kolega bisnisnya. Namun jika jujur, belum sama sekali Alven mengatakan dirinya memiliki kekasih. Baru kali ini, hanya Airin.



---





Airin menyesap green tea pada cangkir dalam genggamannya. Airin teringat bagaimana cara berbicara Alven kepada Aldion. Sangat menggambarkan bahwa mereka memang tidak terlihat akrab satu sama lain. Tapi mengapa?


Kedua telinga Airin sudah terasa panas ketika keduanya saling manaruh penekanan pada setiap kata. Itulah mengapa Airin memutuskan untuk pergi keluar ruangan dengan seribu alasan.



Tangan Airin terarah membuka galeri pada gadget. Tiga orang laki-laki dan seorang anak perempuan disana. Satu laki-laki dewasa sedang menggendong dua bayi sekaligus. Bayi laki-laki pada lengan kanannya. Juga bayi perempuan pada lengan kirinya. Sementara pada sisi kanan lelaki dewasa tersebut berdiri seorang anak laki-laki dengan kemeja kotak-kotak tersenyum tipis. Airin menggerakan tangannya menyentuh wajah mereka satu persatu. Walau hanya dengan media gambar, setidaknya rasa rindu Airin kepada mereka dapat tersalurkan walau secercah.



Kembali menggeserkan layar menuju foto lain. Kali ini hanya dua orang laki-laki dan satu anak perempuan. Lelaki dewasa tersebut duduk ditengah antara kedua anak kecil menggemaskan dengan tingkah khas anak polos pada umumnya.



Mata Airin kembali menerawang jauh, Meresapi bagaimana kondisi dirinya saat masa kelamnya saat kecil menerpa. Namun ia bersyukur, masih memiliki Ayah juga Adik yang adalah sebagian nyawanya. Sebagai anak kedua, dan keadaan yang mendesaknya mengetahui segala lebih lanjut, memaksakan Airin harus pergi meninggalkan keduanya.



Be Mine? [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang