Chapter 3

8.7K 500 6
                                    

dengan gemetar, Airin mencoba mengulurkan tangannya meraih amplop cokelat seraya tersenyum kecut.

"ya, terimakasih" ucapnya lalu pergi berlalu keluar cafe. berharap tak ada satu orangpun yang mengejarnya. karena ia tak sanggup lagi harus menahan buliran air yang sudah sedari tadi ada dipucuk kelopak mata indahnya.

derapan suara sepatu sedikit berlari dengan ritme cepat terdengar dari arah belakang.

Airin terdiam. tidak melanjutkan langkahnya kembali. tapi ia juga tak mau menengok. karena ia tau, siapa yang ada dibalik tubuhnya. otaknya sudah mengatur olah kata apa saja makian yang akan ia lontarkan.

tangan dari seseorang dibelakang telah menyentuh bahunya. "Airin stop! capek tau engga ngejar kamu tuh"

bukan. dia bukan Alven.
tapi......


Difa?

Airin berdecak sebal. kerutan di keningnya menghias juga tangannya yang sudah bertolak pinggang sejak lima menit lalu. "kamu ngapain sih dif? kerja sana, mau ikutan dipecat?"

Difa merogoh kantong celana levis yang ia kenakan dengan cukup sulit. "bukan itu, ini kuncinya" menyodorkan satu kunci dengan satu gantungan boneka beruang

"kita hanya punya satu kunci. kalau kamu pulang duluan dan tidak megang kunci. mau tidur dimana? kalaupun kamu tidur di pinggir jalan raya, bila ada yang nanya siapa teman sekamarmu, jangan sebut namaku!" lanjut Difa memasang wajah jengkelnya.

Airin yang tau watak Difa sesungguhnya hanya menggigit bibir menahan tawa. sahabatnya itu memang tak pernah berubah, manja seperti anak kecil. wajah polosnya membuat ia terkadang sering dibohongi oleh para mantan kekasihnya dahulu.

"iya difaaa, kamu bawel sekali. sudah lama?"

"sudah lama apanya?" mulai lagi tampang polosnya-_-

"sudah lama jadi tukang obat? ngomong mulu" keluh Airin namun disambut gelak tawa oleh Difa

mungkin hal yang harus dilakukan Airin secepatnya adalah membawa Difa ke psikolog terdekat

"yaudah, kamu pulang sana ai, hati-hati loohh..."

"hati-hati kenapa dif?"

"dijalan suka ada semut akrobat soalnya!!!"

---

gerimis datang walau tak diundang. sang mentari menatap bingung. untuk apa ia datang? sementara dirinya sudah sekuat mungkin menyinari dengan terik. meyakini setiap insan bahwa aktivitasnya akan baik-baik saja tanpa di ganggu oleh rintikan yang menetes.


Airin mencoba meneduh pada atap depan toko dipinggir jalan. bersamaan dengan para pengendara motor juga pejalan kaki lainnya.

"betapa melelahkannya hari ini" batin Airin.

mencoba membenahi rambutnya yang basah menutupi sebagian wajahnya.

mencari pekerjaan di ibu kota nan padat memang tak pernah semudah yang Airin kira sebelumnya. namun tekadnya sudah pasti. ia ingin bangkit!

"ayo masuk ke mobil. biar aku yang antar kamu pulang" ucap seorang lelaki dengan pakaian santainya. tak seperti pakaian formal yang ia lihat beberapa hari yang lalu

"tidak perlu, aku tidak mau lagi berurusan denganmu! sudah sana, kamu itu titisan jelangkung, hah? datang tiba-tiba!" omel Airin tanpa menolehkan sedikit wajahnya

"oh ayolah Airin.. kalau kamu tidak mau melangkahkan kaki masuk kedalam mobil, maka aku yang akan menggendongmu didepan orang ramai"

Airin tersenyum masam. kali ini menoleh dengan satu alis yang terangkat "aku tau itu hanya ancamanmu saja. coba saja kalau kau berani, tuan Alven!"

Be Mine? [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang