Chapter 10

4.8K 271 25
                                    

Kepercayaan memang sulit hadir. Tapi bagaimana jika kepercayaan pada diri sendiri saja rasanya berat sekali untuk mengakuinya. Percaya akan dirinya sudah membawa pengaruh yang begitu besar. Percaya bahwa hati ini ternyata sudah diam-diam terbuka untuk dirinya. Dan sekarang, sekeras apapun kepercayaan itu menguap naik, sekuat itu pula kata tidak mungkin menggeleng keras. - Chaniello

----

Airin merasakan tubuhnya semakin sulit untuk bergerak. Membuka kelopak matanya pun rasanya berat sekali. Aneh, sakitnya kali ini benar-benar aneh! Ah ya, mungkin hanya karena didasari oleh rasa rindu.

Suara bising sayup-sayup melintas diarea indra pendengarannya. Airin tidak tuli, jelas dirinya mampu mendengar walau samar namanya telah terbawa dalam percakapan dua orang yang sepertinya adalah laki-laki.

Meregangkan sedikit otot lengannya yang terasa linu. Matanya mengerjap berulang kali. Alven berdiri dihadapannya dengan wajah memerah. Ya, inilah wajah seram Alven saat dirinya berkabut emosi. Tapi untuk apa Alven emosi kepada Airin? Toh, Airin baru saja terbangun. Sisi sofa sebelahnya tergerak.

Jo?

"Bisakah kalian tidak berisik di kediaman orang tengah malam seperti ini?" gumam Airin memijat keningnya penat.

Alven memalingkan wajahnya yang dingin. Setengah kaget bercampur gelisah. Alven mendekat, mensejajarkan tingginya dengan Airin yang masih terduduk. "Ai... Airin kau sudah terbangun? Maafkan aku, apakah kau tertidur tadi karena aku sudah pergi meninggalkanmu begitu saja?"

Perlahan, Airin menatap lurus mata Alven. Mengapa laki-laki selalu sama saja? mudah sekali mempermainkan hati wanita?

"Tidak, aku hanya..... Aku hanya mengantuk saja" Jawab Airin lemah mengusap kedua matanya.

Jo beranjak. Rasanya sudah gerah berada disini terlalu lama. "Baiklah, ku rasa sudah seharusnya aku tidak menjadi obat nyamuk diantara kalian berdua. Airin, bisa aku meminta jacketku sekarang? Kamu bisa meminta selimut yang lebih tebal kepada Alven"

"Kau mau kemana memangnya, Jo?" Dongak Airin melepaskan jacket denim yang menutupi tubuhnya. Ya, sedikit nyaman untuk dirinya yang sedang tidak enak badan.

"Izinku, akan kekamar Difa. Lama juga sepertinya Alven berada disana sehingga aku juga harus menunggu cukup gerah disini" Jawab Jo menyeringai memakai jacket dan merapihi bagian kerah.


Selangkah Jo maju, pundaknya tertahan oleh telapak tangan Alven disana. Airin tidak mengetahuinya, ia masih terlalu sibuk mengecheck sekitar lehernya merasakan tubuhnya sedikit panas.

"Jangan jadi lelaki pengecut disini. Kuharap kehadiranmu tidak untuk menghancurkan kebahagiaan hubunganku dengan Airin" bisik Alven tajam.

"Sungguh, bagaimana hubunganmu dengan Difa sangat tidak berguna untukku. Yang jelas, jauhi Difa!"

----

Sepi. Hening. Kosong. Tak berkawan.


Seharusnya, ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Lebih dari lima tahun bukan waktu yang sebentar setelah kehampaan sudah merasuki dirinya dalam-dalam. Bukan kehampaan pada sekitarnya, tapi kehampaan pada jiwanya. Jiwanya yang kosong. Keceriaan mudah memang menutupi segala kegelisahan bahkan kesedihan. Tapi bukan ini yang Difa harapkan sesungguhnya.

Selimut putih tebal masih menggelung tubuhnya rapat. Mata gadis itu belum juga terpejam walau ketukam jarum jam sudah menyuruhnya terlelap pada kedamaian tidur. Gambaran wajah lelaki itu masih menghiasi akal sehatnya. Dirinya takut, kalau kembali menyakiti hati lelaki itu seperti dulu.



Be Mine? [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang