[7] Cintai Aku, Saatnya...

19.5K 1.7K 50
                                    

-

Meski di hari weekend masih menjadi neraka dunia tetap bagi gue, tapi setidaknya weekdays gue punya Papi dan Mami yang siap memanjakan gue dengan limpahan kasih sayang mereka. Dan semua itu, sedikit demi sedikit memori indah itu gue abadikan sebagai bekal disaat gue di rundung rindu. Tak hanya lewat memori ingatan, gue juga mengabaikannya lewat visual nyata yang bisa gue pandang dan di putar berulang hingga rindu sedikit berkurang. Video dan Foto.

Meski Reno secara gamblang akan mengajak gue ikut bersama mereka, tapi secara tersirat Papa mengancam agar meninggalkan segalanya. Termasuk Renée dan Reno. Dengan nyawa mereka sebagai taruhan.

Terkadang, gue tak habis pikir. Apa hanya karena kepercayaan konyol keluarga Hilma Papa begitu bisa membenci gue dengan teramat sangat? Ataukah ada alasan lain?

Ya tapi apa? Dosa besar apa yang gue lakuin pas bayi sampe Papa sebegitu benci sama gue, atau pas gue masih belum di lahirin kedunia, gue udah bikin bencana apa buat mereka?!

Halah, bodo teuing lah. Mikirin keluarga absurd itu malah bikin kepala gue mendadak sakit.

Ah, sudahlah. Apapun alasannya, toh Papa tetap akan benci gue. Hilma family juga.

Dan... Soal Mr. Apple. Gue sedang dalam tahap move on dari calon adik ipar gue itu. Segampang itu? Oh engga... perlu perjuangan keras buat bisa move on dari dia. Istilah kata tuh gue itu harus sampai jatuh bangun, kepleset, gelinding terus kejedot aspal buat bisa move begini. Lagian, Lo kata hati gue kaya mainan playdo yang bisa bocah bentuk, benyek sesuka hati. Mungkin memang begini jalannya, dia bukan buat gue tapi buat Nindy, adik gue.

Entahlah, gue hanya ingin memulai melepaskan segala rasa disini dan bersiap pergi dengan lembaran baru nanti.

Sedikit demi sedikit gue menarik diri. Beralasan ini itu demi mempersingkat pertemuan kami di saat persiapan pernikahan mereka. Yup, Renée dan Reno akan segera menikah sebulan sebelum berpindah ke Jerman untuk memulai hidup baru kami.
Iyah, Jerman. Tempat dimana Reno menjanjikan Mami dan Aku sebuah kebahagiaan mutlak bagi kami berdua. Betapa ingin aku bersama mereka, tetapi ketika nyawa keduanya menjadi gadai kebahagiaanku, aku memilih neraka seumur hidup sendiri. Tanpa harus membawa mereka.

Cukup gue, jangan mereka.

-

"Enam juta, di tambah tabungan gue delapan belas juta." Gue kembali memastikan kembali jumlahnya, "Lumayan. Gue bisa pindah dalam beberapa hari kedepan." Meletakkan uang itu kembali kedalam amplop tebal lalu menyimpannya kedalam koper yang sudah siap ku bawa kapan saja.

Hari ini hari terakhir gue bekerja dan menerima gajih terakhir gue sebagai pegawai mini market 24 jam dekat kompleks. Tanpa terasa waktu bergulir begitu cepat dan kini sudah saatnya. Gue harus pergi, karena besok waktunya gue graduation. Yang berarti waktunya gue pergi sesuai kesepakatan Papa dan Mama.

Ngomong-ngomong soal Mama, gue lumayan kangen sama dia. Hampir sebulan ini dia nggak lagi terlihat di rumah. Tapi Papa masih rutin berkunjung di weekend untuk sekedar memaki dan mengancam gue.

Dan semenjak dua minggu lalu, Papa pun tak lagi pulang.

Ada rasa lega namun menyakitkan di saat yang bersamaan gue rasa. Terlebih gue sempat mendengar percakapan Mama dengan seseorang di telepon yang gue yakini adalah Papa sekitar satu atau dua bulan lalu.

"Mas, kasihan dia. Setidaknya biarkan dia--"

"...."

"Mas, dia anak kita!"

"...."

"Mas!"

"...."

"Mas, aku mohon Mas. Kasihanilah dia, demi aku. Ku mohon."

"...."

"Nala anakku... anakmu juga Mas..."

"...."

"Setidaknya beri dia pendidikan yang la--"

"...."

"Kita cerai."

"...."

"Kita cerai, Mas! Cerai!!!"

"....."

"Kamu tidak akan berani."

"...."

"Mas! Jahat kamu!"

"...."

"Tidak, Mas. Jangan. Mas, baiklah. Aku tak akan lagi berkata begitu, tapi jangan melukai Putri ku. Tapi setidaknya--"

"...."

"Lalu bagaimana dia bertahan hidup di luar sana?"

"...."

"Mas..."

Yang terakhir gue ingat adalah suara tangisan Mama yang menggema memohon belas kasih untuk gue.

Oh Mama. Jangan begitu, Nala merasa berhutang terlalu banyak kepadamu.

Selebihnya gue nggak tau lagi mereka ngebahas apa. Karena yang pasti, semua yang mereka bicarakan adalah tentang nasib gue kedepannya -dalam artian negatif.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan gue.

"La, bisa keluar sebentar?" Suara Bi Rena terdengar memanggil dari balik pintu.

Tumben si Bibi kesini, ada apa ya?

Suara ketukan pintu kembali terdengar, buru-buru gue menaruh koper itu kebawah kolong kasur, "Ya, sebentar."

Saat pintu terbuka sempurna, bukan sosok Bi Rena yang gue lihat, melainkan Renée yang tengah berkaca pinggang dengan mata terpicing penuh aura kemarahan. Gila, baru lagi deh dia kayak gini. Terakhir kali dia begitu, pas gue kedapatan senang menyileti lengan untuk melepaskan beban diri ketika gue merasa depresi yang entah apa sebutannya, yang jelas itu termasuk dalam penyakit kejiwaan.

Yeah, gue dulu memang manta calon orang gila.

Oke, lupakan masa jahiliah gue itu.

"Naladhipa. Ikut Mami. Sekarang !"

Nah loh.

Renée dalam mode Mami kyuubi gini tuh nyeremin! Jangan tanya kenapa, karena hampir seumur kami tumbuh bersama.

Demi jaman jahiliah gue dulu yang kepengen cepet mati, gue masih mau idup sekarang mah!!!

-

Cintai Aku [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang