Kilas Masa Lalu

44.9K 2.5K 171
                                    


"Aku perlu anak laki-laki, bukan anak perempuan! Pokoknya, setelah kamu selesai nifas kita langsung program bayi saja. Orang tuaku sudah ribut minta cucu laki-laki."

"Baik, Mas."

"Terserah kamu mau apakan anak itu, yang jelas aku malas mengurusnya. Harusnya anak pertamaku itu laki-laki! Ini dia malah perempuan! Dan, jangan kasih dia nama keluarga kita. Paham?"

"Ya, Mas."

"Haisss... Menyusahkan."

Talita Hilma, hanya mampu diam saat sang suami mencaci maki putri pertama mereka. Seakan tahu kehadirannya tak di harapkan, putri kecilnya begitu tenang dan tidak rewel seperti bayi kebanyakan. Tidak berulah dan menangis di tengah malam, hanya terbangun bila haus atau popoknya penuh. Menunggu seseorang berbaik hati melihat keadaannya di kamar. Awalnya Talita tak menyadari, karena sebelum suaminya pulang dari perjalanan bisnis putri kecilnya itu masih seperti bayi kebanyakan yang rewel dan suka begadang. Tapi... setelah ayahnya pulang, semuanya berubah. Putrinya tak lagi sama, tidak wajar. Seakan tau situasi.

Apa dia mengerti penolakan yang keluarganya berikan?

*

Naladhipa. Hanya nama itu yang mampu Talita berikan untuk putri kecilnya, tanpa menyandang nama keluarga, masuk kedalam KK, dan list hak waris keluarga Hilma. Akta lahir saja dia tak mampu berikan.

Talita juga hanya bisa mengasuh dan menyusui Nala ---nama kesayangannya untuk putri malangnya--- sampai usia tiga bulan. Karena tak lama setelah masa nifas nya usai, ia dan sang suami langsung membuat program kehamilan lagi dengan bantuan rekayasa teknologi di Amerika, meninggalkan Nala bayi di Jakarta sendiri, hanya di jaga oleh asisten rumah tangga kepercayaan Talita. Karena baik Ibu atau Ayah mertuanya enggan di titipi Nala, sementara dirinya sendiri hanyalah sebatang kara tanpa orang tua.

Karena keluarga Hilma mempunyai kepercayaan, bahwa anak pertama di keluarga mereka itu harus Laki-laki, kalau perempuan, di anggap pembawa sial dan tak berguna.

*

"Bibi, Nala boleh telepon Mamah?"

"Nanti aja ya, Neng. Mamah Neng lagi sibuk soalnya."

"Oh, iya."

Nala itu anak yang pendiam dan penurut. Jarang rewel---kalau bukan sedang sakit--- dan tak pernah mengeluh di tinggal Mamah dan Papanya.

Sekarang, Nala sedang membaca buku tentang anggota keluarga.

"Bibi, Nala punya nenek?" tanya nala dengan wajah lugunya.

"Punya,"

"Kakek?"

"Punya dong...."

"Kok, Nala nggak pernah ketemu, Bi?"

"Iya, belum pernah. Soalnya nenek dan kakek Nala rumah-nya jauhhhhhhh sekali, jadi belum bisa jenguk non Nala disini." Rena jelas berbohong. Mana tega dirinya mengatakan kenyataan pahit pada si malang.

"Oh..., Kayak rumah Mamah sama Papah, ya?"

Tanpa bisa lagi menahan, Rena menitikan air matanya sambil menahan isakan.

"Iya."

"Bibi...,"

"Ya?"

"Kata teman Nala, mereka tinggal sama Mamah dan Papah-nya, kok Nala enggak?"

"Kalau Nala ikut Mamah dan Papah, terus Bibi sama siapa disini?"

"Iya - ya. Hehe..."

Rena -asisten rumah tangga sekaligus pengasuh Nala sejak kecil- miris sendiri, anak sekecil Nala harus menjalani hal berat sejak lahir. Di tolak kehadirannya karena dia seorang bayi perempuan, di tinggalkan kedua orang tuanya sejak usia tiga bulan, dan masih banyak lagi kesulitan yang di alami.

"Nala, minum obat dulu Nak."

Dan satu lagi, Nala mempunyai fisik lemah efek stres sang Ibu ketika hamil dan terlebih ia tak ASI.

*

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam, sudah pulang, Neng."

Nala mengangguk,"Di depan ada mobil siapa Bi?"

"Itu Nenek dan Kakeknya Eneng."

"Bener Bi? Akhirnya..., Nala bisa ketemu."

Saat akan menghampiri Nenek dan Kakek di taman belakang, Nala mendengar sesuatu yang menyakitkan.

"Harusnya Talita membuang saja anak itu. Kenapa dia masih repot menampung anak yang sudah jelas kita tolak."

"Huss, kamu tuh ngomong nya. Gimana kalau Nala dengar, kan kasihan."

"Justru bagus, agar dia tau posisi dan menempatkan diri."

"Terserah lah."

Nala mematung di tempatnya berdiri. Kenyataan pahit yang baru iya ketahui, menghancurkan dirinya hingga tak bersisa. Anak yang tak di harapkan? Apa ini alasannya dia tak ikut kedua orangtuanya ke Amerika, tak pernah di telepon Papahnya, tak pernah bertemu kakek dan Nenek nya?

Nala melangkah mundur, berbalik lalu berjalan cepat kedalam kamar. Dia tak menangis, karena rasanya tangisan tak bisa menggambarkan rasa sakit yang di alami nya sekarang.

*

"Assalamualaikum, Kek, Nek. Nama aku Nala, salam kenal."

Meski Nenek nya juga bersikap acuh, setidaknya beliau masih mau menerima salamnya. Tak seperti Kakek nya.

"Silakan di minum teh nya." Nala pamit undur diri, meski tak ada yang mempedulikan.

Yang Nala tahu, sang Kakek sedang menelepon Papahnya yang ternyata akan pulang ke Indonesia. Setelah tigabelas tahun lamanya.

Sedih sekaligus senang Nala rasakan saat ini. Tak apa jika memang tak di harapkan, setidaknya ia akan bertemu dan berkumpul dengan keluarganya lagi.

Keesokan harinya, saat Nala pulang sekolah. Sudah ada mobil lain yang terparkir di dalam garasi rumah. Nala berjingkrak kegirangan. Pasti orangtua nya sudah pulang, pikir Nala.

Nala tak pernah masuk lewat pintu depan, dia selalu lewat pintu belakang karena mengikuti kebiasaan Bi Rena. Setelah membuka sepatu, Nala melangkah masuk dengan menenteng sepatutnya.

Masuk melalui pintu garasi yang terhubung dengan ruang makan dan dapur bersih, Nala mengintip dari balik tembok, terlihat sepasang anak kecil berbeda usia tampak sedang bermanja kepada Kakek dan Neneknya. Dan ada juga kedua orang tuanya yang tengah duduk membelakangi Nala.

Nala menatap penuh harap, tapi tak berani mendekat. Dia cukup tahu, dan sadar diri. Bahwa dia tak pernah di harapkan kehadirannya.

Nala memilih berbalik dan berjalan gontai kearah kamarnya yang berada di paviliun taman belakang -tentu saja atas perintah Kakeknya kemarin-.

Nala tak protes, setelah sang kakek memberi perintah, Nala langsung pindah ke paviliun malam itu juga tanpa banyak bertanya. Karena dia paham betul artinya disini sekarang. Tak diusir saja sudah untung.

Paviliun bukan tempat yang buruk seperti gudang yang kotor. Tapi perintah kakeknya dengan jelas mengartikan bahwa dia tak di terima di keluarga hilma dan tak pantas berada di rumah utama.

*

Cintai Aku [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang