#이 : Eyesight

213 34 7
                                    

"Apa yang kau lakukan di toilet wanita, Tuan!?! Kau mengintip? Dasar pervert!" seru ku sedikit memberi penekanan pada kata 'wanita'. Ya ampun, kau benar-benar mesum, Tuan.

Pria bermata dalam serta sembap itu menekuk tubuhnya sembilan puluh derajat ke arahku. Ia terlihat sangat gugup dan menekuk tubuhnya sekali lagi, kemudian melangkahkan kedua tungkainya keluar dengan terburu-buru. Aku merasa curiga dengan pria itu. Apa dia mengintip? Ternyata semakin banyak saja penjahat pada abad ini. Namun, aku segera melupakan masalah itu. Sejenak aku memiliki pertanyaan; kenapa dia menangis?

Ah, itu bukan urusanku.

°°°

Ternyata pria itu telah pergi dari kafe ini. Akhirnya, aku berjalan menghampiri tempatku tadi. Aku pun segera mendudukkan tubuhku karena pesananku telah datang sejak tadi, kurasa, karena suhu samgyetangku tidak lagi panas, melainkan hangat.

Aku menghela napas tatkala langit masih berlagak muram di depanku. Secangkir Americano telah jauh menipis uapnya dari yang kubayangkan. Sejurus kemudian rinai hujan mulai menyerbu dengan dentangan nada random yang mengganggu.

Setelah selesai makan dan minum juga membayar, aku segera pergi dan berlari menuju halte yang menghadap ke kafe sambil tak lupa menenteng koper dan pesananku tadi. Aku duduk di bawah perlindungan kanopi halte dan menunggu taksi atau bus di sana sambil menyesap setiap mililiter Americano.

Sesuatu menggelitik otakku tatkala taksi ataupun bus belum juga datang. Aku ingin ke toko buku setelah sekian lama aku tidak mengunjungi tempat mirip perpustakaan yang penuh dengan tumpukan buku itu. Tapi, aku tidak tahu di mana tempatnya. Apakah aku harus memesan taksi? Namun, jika di dekat sini ada toko buku, aku tidak perlu membuang uang untuk mengendarai benda berpolusi itu. Akhirnya, kuputuskan untuk bertanya pada seseorang di sini.

Pandangan mataku tertuju pada satu-satunya manusia di halte ini selain aku; seorang pria berpenampilan aneh yang sedang membaca majalah. Dia memakai bando tanduk rusa sinterklas di pucuk kepala berambut cokelatnya, sweater lengan panjang warna merah jambu, serta celana training pendek selutut warna kuning cerah bergaris hijau daun.

Ya ampun, dia lebih terlihat seperti pasien rumah sakit jiwa, sangat konyol. Tapi, penampilannya itu sungguh menarik dan cukup mengesankan, entah karena apa. Bola matanya, mungkin?

Kuhampiri ia dengan penuh kehati-hatian dan bertanya dengan sopan. Sedikit aku takut apabila pria itu sama jahatnya dengan pria yang tadi. Namun menilik dari caranya berpakaian, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah orang yang seperti itu. Instingku memang, yah, bisa dibilang sedikit aneh.

"Permisi, Tuan. Apakah Tuan tahu di mana letak toko buku terdekat?"

Pria itu menengadahkan kepala tanduk rusanya dan tersenyum sambil memperlihatkan deretan giginya. "Ah, di daerah dekat sini hampir tidak ada toko buku yang buka. Ada satu, namun cukup jauh dari sini. Kalau kau mau, aku bisa mengantarkanmu."

"Benarkah? Tapi, lebih baik bila Tuan memberitahu saja tempatnya di mana,"

"Tidak, lebih baik sekalian saja. Kota ini sungguh rumit, kau bisa bingung." Desak pria aneh itu. Aku sedikit heran dengannya. Apa sulitnya memberitahu saja di mana tempatnya? Sudahlah, lebih baik kuturuti saja.

Pria berkulit tan itu tiba-tiba menarik tanganku tepat di saat bus datang setelah melemparkan majalahnya ke sembarang arah.

Pria ini mengajakku masuk ke sana bersamaan dengan para orang yang berbondong-bondong ingin memasuki ruangan cukup besar nan memanjang itu dan duduk di salah satu pasangan kursi yang kosong. Dengan pasrah saja aku mengikuti gesturnya sambil menenteng koper tua dan sebuah tas selempang yang melintas di bahuku dengan susah payah.

REMINISCING [Sehun EXO]Where stories live. Discover now