Alif memperhatikan sekitar. Mengamati setiap orang yang punya potensi akan menghampiri meja Indira. Sialnya, dia malah mendapati beberapa pria curi-curi pandang ke Indira. Tahu aja mereka kalau apa pemandangan yang bening. Sedangkan gadis itu tidak sadar sama sekali kalau dia sudah berada di sarang penyamun. Dan dia sendirian. Alif gondok setengah mati melihat Indira yang cuek dengan sekitarnya. Hati Alif jadi tidak tenang.

Ini tidak bisa dibiarkan.

Alif mengambil ancang-ancang untuk berdiri. Namun, terlambat karena ada seorang pria yang sudah terlebih dahulu menghampiri Indira. Rahang Alif mengeras. Sial, sial, sial. Dia terlambat. Alif kembali duduk ke bangkunya.

Alif menajamkan telinga agar bisa mendengar apa yang penyamun itu katakan. Dia bilang Hai!

Hai, kepala lo! Hati-hati aja lo, entah senior atau bukan, setelah ini habis sama gue, rutuk Alif dalam hati. Alif mengepalkan kedua tangannya.

Tapi dari tempat Alif duduk sekarang dia melihat Indira ternyata siap-siap berdiri dan dari gesture tubuhnya dia mempersilahkan si pria untuk duduk. Tangan Indira menunjuk bangku tempatnya duduk.

"Silakan," kata Indira pelan namun masih bisa tertangkap di telinga Alif.

Lalu Indira berbalik dan pergi meninggalkan si pria yang kini menggaruk-garuk kepalanya.

Sontak Alif tertawa terbahak-bahak. Sukurin, mau ngajak kenalan malah ditinggal. That's my girl!

Alif mengikuti ke arah Indira berjalan menjauh. Rasanya bola matanya ketagihan untuk memandanginya. Matanya tidak rela melepas kepergian Indira. Seperti bunga matahari yang selalu menghadap pada arah matahari.

"Sam, udah gak ada kelas, 'kan?"

Sam mendongak dan menggeleng. Alif pun mengangguk. Dia pun memutuskan beranjak dari kantin, mengikuti ke mana gadisnya pergi.

"Ke mana lo?" tanya Sam.

Tapi Alif hanya membalas dengan mengangkat sebelah tangannya ke atas tanpa menoleh.

***

"Indira."

Panggilan dari belakangnya itu membuat langkah Indira terhenti. Dia berbalik untuk mengecek siapa yang memanggilnya.

Tanpa membuang waktu Alif menghampiri Indira. Perempuan itu masih berhenti beberapa meter dari Alif.

Alif berdiri di depan Indira. "Lo nggak ingat sama gue? Kita sudah pernah bertemu."

Kelopak mata Indira mengerjab kemudian dia mengerutkan kening. Dia menatap lekat pada Alif selama beberapa detik.

Alif berdeham. "Ehm ... kita pernah lari bareng." Alif mencari adegan selain tawuran untuk membantu Indira mengingat.

Tiba-tiba saja mata Indira melebar dua kali lipat. Ekspresi Indira saat ini tidak jauh berbeda seperti waktu pertama kali Alif bertemu dengan Indira.

"Lo ... kenapa ada di sini?" Indira mundur satu langkah.

Sebagian dari diri Alif lega karena Indira mengingatnya, sementara bagian lainnya kecewa karena Indira memasang sikap siaga di dekatnya.

"Gue kuliah di sini, Ra."

Indira memperhatikan penampilan Alif dari atas hingga bawah. Dia mengangguk-angguk.

Alif berdecak. "Please, bisa nggak lo mandang gue biasa aja? Kenapa lo takut sama gue? Gue sama sekali nggak ada niatan jahat sama lo, Ra."

Indira mendongak. Kedua pasang mata mereka sempat beradu tapi hanya sepersekian detik karena Indira langsung memindah arah pandangannya. Dia masih enggan bertatapan langsung dengan Alif.

"Te-terus mau apa lo ketemu gue?" tanya Indira dengan suara yang terbata.

"Gue cuma mau kenalan sama lo."

Indira langsung menatap Alif. Dengan segala keberanian yang dia kumpulkan, dia membalas mata Alif. "Kenalan?"

"Kita sudah bertemu dua kali. Pertemuan pertama kita mungkin bisa disebut kebetulan tapi yang kedua ini ... gue yakin bukan kebetulan. Jadi, gue mau berteman sama lo, Ra." Alif mengulurkan tangannya di depan Indira.

Perempuan itu menunduk, memandang telapak tangan Alif. Berteman? Indira menimbang-nimbang baik dan buruknya kalau dia membalas uluran tangan Alif.

"Ayolah, Ra. Percaya, gue sama sekali nggak ada niat jahat sama lo. Lupakan pertemuan pertama kita. Dulu itu, anggap aja gue lagi khilaf dan kita ketemu di waktu dan tempat yang salah. Gue cuma mau berteman sama lo. Itu aja."

Indira menggigit bibirnya. Dia tidak tega membiarkan telapak tangan itu menggantung di udara. Walaupun ragu-ragu, akhirnya Indira menyambut Alif. Hanya menempel tanpa ada jabat tangan erat. Namun Alif sudah cukup puas karena Indira mulai menerimanya.

Alif tersenyum lebar. "Nama gue Alif. Ingat itu, Ra."

Indira mengangguk pelan.

"Lo mau pulang? Gue antar ya?"

"Ha? Nggak usah." Indira menjawabnya dengan cepat seolah dia tidak perlu mempertimbangkan tawaran Alif.

"Kenapa? Kita udah berteman kan, Ra? Bisa nggak lo hilangkan rasa takut lo itu." Alif memperhatikan Indira yang menunduk. Alif mengembuskan napas panjang. Dia membuka tas lalu mengambil dompetnya kemudian mengulurkannya di depan wajah Indira. "Nih, lo bawa dompet gue sebagai jaminan. Di dalamnya ada kartu identitas gue jadi lo nggak perlu takut gue culik."

Indira mengernyit menatap dompet milik Alif.

Melihat Indira yang diam saja, Alif makin gemas. Dia memasukkan dompetnya kembali ke dalam tas. Selanjutnya dia melempar pelan tasnya ke tubuh Indira sehingga mau tidak mau Indira mengambil tas itu. "Atau lo bawa tas gue. Sudah aman banget tuh."

Tingkah pria di depannya membuat Indira tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Indira terkekeh pelan.

Alif membelalakkan matanya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Indira. "Lo ketawa? Iya kan? Gue nggak salah dengar tadi?"

Gerakan tiba-tiba itu membuat Indira panik. Tanpa sadar dia mundur lagi selangkah. Alif tahu diri. Dia menarik lagi kepalanya menjauh dari Indira. "Sorry, tadi gue refleks. Jadi gimana? Gue antar pulang ya?"

Indira menggigit bibirnya kemudian mengangguk pelan.

"Yoss!" Alif mengangkat sebelah tangannya ke atas. Dia tidak peduli Indira atau mahasiswa lain menatapnya aneh.

Indira mengulurkan kembali tas milik Alif. "Ini ... gue balikin."

Alif melirik tasnya. "Nggak, lo bawa dulu aja. Nanti begitu sampai di rumah lo, baru dibalikin. Jadi ... sekarang kita jalan ke parkiran ya?"

Walau wajah Indira tertunduk, Alif masih bisa menangkap gerakan kepala Indira yang mengangguk pelan.

Alif berjalan duluan dan Indira mengikutinya di belakang. Indira mengambil jarak dua langkah. Alif membiarkan Indira. Dalam hati dia berjanji bahwa suatu saat jarak di antara mereka akan menipis dan mereka akan berjalan berdampingan.

**

Coffee with Sugar (Alif)Where stories live. Discover now