#일 : Daybreak Away

267 39 6
                                    

Matahari yang hangat bersembunyi dan bumi hijau sedikit tertutup embun pagi. Bagaimana kabarmu, Seoul, kota metropolitan yang sungguh padat? Dan para mahkota evolusi dunia. Sang pewaris Big Bang yang memukimi pesisir samudera kosmik, dengan lautannya yang gemuruh, hutan-rimbanya yang dingin dan kini mulai berkurang luasnya, padang rumput yang mulai tandus, benar-benar masih nyata cantiknya. Apa kabar semuanya?

Sang Pencipta telah membentangkan masa jutaan tahun cahaya, sampai aku bingung berapa nol harus kupasang untuk menggambarkan jarak itu. Aku rindu menguak rahasia-rahasia besar penciptaan. Dan Sang Pencipta yang berkreasi dalam diam, merencanakan segala sesuatu tentang takdir hidup, tetap sembunyi di balik tabir misteri. Aku benar-benar ingin mengetahui semuanya, apalagi takdir tentang siapa yang telah membuat ayahku harus meregang nyawanya di masa lalu dan kini membuatku penasaran setengah mati.

Aku pada titik ini, di tempat ini, merasa bersyukur masih bisa hidup, setidaknya sampai detik ini, agar aku bisa mencari sosok bos pembunuh bayaran yang telah menghabisi nyawa ayahku.

Kedua kakiku masih berpijak di bawah cakrawala biru yang indah. Sesekali aku menggosokkan kedua tanganku yang kubalut dengan sarung tangan tebal untuk menghilangkan rasa dingin yang membuatku menggigil. Aku memeluk diriku sendiri sambil menelan bulir-bulir saliva yang mulai memenuhi seisi rongga mulutku. Deru napasku kian terasa seiring dengan gerumulan uap putih yang terus mengepul keluar dari apitan bibir kecilku. Jiwaku membuncah sedangkan embusan angin dengan nakalnya meniup helaian rambutku yang kugerai asal.

Batu-batu berlumut dan pecahan batu bata kusam membuat suasana mencekam dan memberikan kesan kriminal. Setelah dilihat-lihat dengan saksama, kudapati diriku berada di sebuah gang kecil di pinggiran kota. Aku pun menyusuri jalan hingga keluar dari sini dan sampai di tengah kota yang cukup ramai sambil menyeret sebuah koper. Orang-orang berlalu begitu saja, seakan aku tak ada, seperti tak peduli padaku, manusia asing yang mendatangi kota orang. Hal inilah yang membuatku merasa terasing, berdiri di antara jutaan orang berhati kelabu.

Cukup lama aku bertahan dalam keteguhanku untuk berdiri, kedua mataku menangkap sebuah figur yang telah lama kunantikan, yaitu kafe sederhana. Sebuah papan nama bertuliskan 'Azure Portrait Café' terpampang jelas dengan kesan minimalis pada bagian atas kedai kecil itu.

Aku sedikit bimbang akan keputusanku untuk mengunjungi kafe itu atau tidak, karena kulihat tempat itu masih cukup sepi. Ibuku pernah berkata, "Jangan pernah datang ke tempat yang sepi, apalagi di tengah kota. Berbahaya," Aku berusaha menepis pikiranku tentang nasihat ibu yang sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan zaman itu. Kupikir masuk ke sana adalah pilihan yang tepat daripada mati sambil didekap oleh rasa dingin.

Kulangkahkan kedua tungkaiku dengan detapan yang mantap walaupun keduanya terus bergetar. Rasa dingin ini terus saja mendera tanpa henti, hingga aku harus mengeratkan kembali winter coat tebal yang membalut tubuh mungilku. Mantel yang aku gunakan ini begitu tebal hingga menggembung dan juga berkerah tinggi hingga menutupi sebagian bawah wajahku. Kunaikkan tudung kepala yang berhubungan dengan mantel itu hingga kini seluruh tubuhku tertutupi, kecuali kedua mataku dan sekitarnya.

Aku telah sampai di ambang pintu. Kedua tanganku beralih membuka pintu kaca kafe itu dan membuat bel di atasnya berbunyi.

Kedua mataku menyusuri seluruh penjuru kafe, berusaha menemukan tempat duduk yang kosong. Untung saja kafe ini belum terlalu ramai pada jam yang bisa terbilang masih cukup pagi. Kupilih tempat duduk dengan kursi yang memiliki bantalan empuk dan juga sandaran, dan berada di dekat jendela, sekaligus dekat dengan pemanas ruangan karena suhu masih cukup ekstrem.

Seorang pelayan wanita menghampiriku sambil membawa menu kafe dan pulpen, juga secarik kertas. Dia tersenyum padaku seraya menyerahkan menu. Bisa dilihat dari kontur wajahnya, belum banyak kerutan yang berarti, ataupun kantung mata yang mengganggu pandangan, kurasa umurnya masih muda. Mungkin seumuran denganku. Name tag yang ia sematkan di atas sakunya memberitahuku bahwa nama gadis itu adalah Kang Seulgi.

"Anda ingin pesan apa, Nona?"

Aku menurunkan kerah mantelku. "Eumh, aku-"

"Hari ini kami ada penawaran khusus untuk 10 pelanggan pertama, ada diskon yang sangat istimewa bagi pelanggan bla..bla..bla.."

Aku tak ingin mendengarkan ocehannya. Yang penting sekarang aku bisa menghangatkan diri dengan memakan sesuatu yang setidaknya tidak membuatku mati jika menelannya.

Aku mendongakkan kepala kemudian memutar kedua bola mataku jengah.

"Bisa aku memesan sekarang?" tanyaku dengan intonasi sedikit tinggi. Seulgi segera menghentikan ucapannya dan menyengir kuda.

"Maaf, Nona,"

"Aku pesan secangkir hot Americano dan samgyetang," jawabku seraya sedikit berpikir-pikir. Mungkin Americano panas dan samgyetang cocok untuk musim hujan seperti saat ini. Asapnya yang mengepul sangat menggoda, seolah mengajak kita untuk menyantapnya dengan segera sebelum asap itu sendiri hilang ditelan masa.

"Ada lagi, Nona?" tanya Seulgi sambil mencatat pesananku.

"Eumh, aku ingin kue pria jahe satu porsi saja, dibungkus. Dan Hot Americano satu lagi, dibungkus juga," aku tak habis pikir. Kenapa aku pesan ini? Ah, biarlah, bisa menjadi camilan untuk di apartemen nanti.

"Baiklah, silakan menunggu sebentar Nona," pamit gadis itu sambil terus tersenyum. Sedangkan aku, hanya membalasnya dengan senyuman canggung karena aku sendiri tidak terbiasa untuk tersenyum atau bersikap ramah pada siapa saja.

Aku mengalihkan pandanganku pada dinding kaca transparan di sebelah kananku yang membuatku bisa melihat situasi di luar. Belum hujan, namun cuaca mendung gelap sekali. Ah, pantas saja suhunya sedingin ini.

Sejenak kemudian, aku merasa ingin buang air kecil. Karena ada penunjuk tanda toilet, dengan mudah aku bisa menemukannya. Segeralah aku ke sana dan masuk ke dalam lorong toilet wanita yang terletak di samping lorong toilet kaum adam.

Toilet itu sepi tanpa ada seorang pun selain diriku, firasatku. Karena terburu-buru, langsung saja aku masuk ke salah satu di antara tiga kamar mandi. Sayup-sayup aku mendengar ada seseorang yang menangis di kamar mandi tepat di sampingku. Tangisan itu terdengar begitu pilu, namun ada sesuatu yang terasa aneh. Itu suara bariton khas pria.

Setelah selesai, aku segera memutar knop pintu dan hendak melangkah keluar. Ada seseorang yang juga keluar dari kamar mandi di sampingku tadi, tempat aku mendengar suara tangisan. Spontan saja aku mendongak untuk melihat wajahnya. Orang itu juga memandangiku. Dan ternyata benar dugaanku, dia pria.

"AAAAAAAA!"

Dalam waktu yang bersamaan kami berdua berteriak tanpa aba-aba, seolah ada bisikan kecil yang berbicara.

"Apa yang kau lakukan di toilet wanita, Tuan?! Kau mengintip? Dasar pervert!"

°°°

Glossary

Americano: Minuman kopi yang dibuat dengan mencampurkan satu seloki espresso dengan air panas. Air panas yang digunakan dalam minuman ini adalah sebanyak 6 hingga 8 ons. Nama dari kopi ini pada awalnya merupakan ejekan bagi orang-orang Amerika yang meminta agar espresso mereka dibuat menjadi lebih encer.

Samgyetang: Sup ayam gingseng masakan Korea.

Pervert: Mesum; bersikap tidak wajar; menyimpang.

°°°

Kindly leave your vote and comments. Thanks:)
♡♡♡

REMINISCING [Sehun EXO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang