Chapter One - We're Officially Homeless

Start from the beginning
                                    

"Maksudku crackers, holy crackers..." Marissa menyesuaikan kata-katanya untuk memuaskan Mom, tapi bahkan dia terlihat bingung pada dirinya sendiri untuk menyadari itu.

Senyum merayap ke bibirku–Marissa selalu membuatku tertawa.

"Hei Ris, aku baik-baik saja. Dan ya, itu rumahku." Aku menunjuk dan mengangguk letih ke arah rumahku, kesal.

"Oh my God. Oh my God. Oh my God!" Oh, bagus, dia memulai mantranya lagi. Tolong jangan katakan 'oh my god' lagi, Marissa, tolong. "Oh my God! Bagaimana?" Kepalanya berputar-putar panik dari wajahku ke rumah dan kembali, lagi, dan lagi, dan lagi, dan... kau mengerti kan?

Aku menghela napas. "Tungau rumah."

"Ew." Dia menjulurkan lidahnya, jijik. "Dasar makhluk kecil siala-" dia berhenti berbicara sebelum memgumpat yang pasti tidak disukai Mom.

"Aku tahu." gumamku, rasa dingin mulai menjalar ke bawah tulang belakangku.

"Oh my God!" dia berbisik, dan aku bersumpah bahwa aku mungkin menamparnya jika dia mengatakan itu lagi.

"Apa?" aku bertanya, memutar mata. Dia selalu overdramatic, tapi itulah mengapa kita teman, kami kebalikan dari satu sama lain.

"Lihat." bisiknya ke telingaku saat matanya menatap ke belakangku, ke kerumunan.

Aku berbalik sedikit ke penonton di belakangku, di depan kerumunan berdiri tiga orang, mudah terlihat di setiap jenis kerumunan. Otot-otot maskulin terlihat dari pakaian mereka, wajah seksi dengan garis rahang yang tajam dan tulang pipi tinggi, aura tak terbantahkan yang mengendap di semua orang di kerumunan di samping mereka. Anak-anak paling populer di sekolah kami, tiga orang hormonal untuk melenyapkan populasi wanita (abaikan bagaimana kotor itu kedengarannya). Mereka hanya... membuat para gadis menahan napasnya.

Oh yah, dan mereka juga berengsek, idiot dan sangat over-rated. Terutama yang di tengah, yang tertinggi, tidak hanya di tinggi badan tetapi juga dalam ego. Dia berdiri dengan bangga (dan dalam cara yang sangat seksi, aku harus akui), dengan dagu yang sengaja diangkat tinggi-tinggi dan tangannya dimasukkan ke dalam kantong jas hitamnya. Rambutnya berantakan, sampai di atas dahinya dan meringkuk di sisinya. Dan dua orang temannya, meskipun kurang tampan dan populer daripada dia, tapi mereka masih definisi dari kesempurnaan.

Selama beberapa saat, aku sudah mengagumi–bahkan sampai air liurku menetes–tanpa menyadari bahwa mereka sedang menertawai rumahku.

Oh, sial.

Dan untuk menambah efek 'oh my God', yang di tengah, River melihat lurus ke arahku sambil tersenyum begitu lebar sampai-sampai ia dapat menampung kepalan tangannya dan kepalan tanganku di mulutnya. Seketika, aku memutar kepalaku menjauh dari mereka, malu bahwa dia tahu aku menatapnya. Dan kau akan berpikir bahwa aku tidak akan melihat ke belakang lagi, tapi tidak. Bodohnya, aku melirik untuk melihat apakah River masih melihat, yang jelas merupakan ide yang buruk.

Ketiganya melihat ke arahku sekarang. Jake, di sebelah kanan, tampaknya tertawa sampai-sampai ia mencengkeram perutnya–aku berharap dia tersedak. Namun, Ky, di sebelah kiri, yang tampak agak bosan. Dia punya lengan yang disilangkan di dada dan tampaknya menendang batu di bawah kakinya. River, masih memfokuskan matanya padaku, tertawa sedikit lebih dengan Jake. Memiliki enam mata mereka terpaku padaku membuatku merasa sangat gelisah. Aku menoleh ke Marissa.

"Mengapa ini harus terjadi padaku?" Aku merasa ngeri.

"Mereka semua menatapmu." Marissa menyatakan fakta yang sudah jelas.

"Well, no, shit Sherlock." Aku berkata dengan suara bodoh, diam-diam sehingga hanya Marissa bisa mendengar, bukan Mom.

"Permisi, permisi." Aku mendengar seseorang berkata, sementara dia menerobos kerumunan di mana aku hanya bisa melihat para idiot itu.

Aku berbalik untuk menghadap pria paruh baya yang sedang berjalan cepat-cepat menuju Dad, memanggil namanya. Terkejut, Dad menoleh dan menyalami orang itu, memeluknya sejenak sebelum menarik diri dan mengatakan kepadanya apa yang terjadi. Aku menghadapi Marissa lagi.

"Aku tidak ingin pergi ke sekolah besok." umumku.

"Apa? Kau suka sekolah; Kau tidak pernah membolos!" dia berteriak di telingaku, dan aku menjauh darinya, memberinya tampilan yang aneh. "Maaf, itu dramatis."

"Sangat." Aku setuju. "Aku tahu, dan aku tidak mau ketinggalan sekolah, tapi semua orang akan melihatku seakan ini lelucon." Aku mengerang.

"Apa, melihatmu seperti mereka melihatmu?" Dia bertanya, dan itu semakin memperburuk keadaan. Dia tampak begitu polos.

Aku memukul lengannya, dengan kekuatan sedikit karenaku tidak ingin benar-benar menyakitinya, tapi kadang-kadang dia memang harus dipukul.

"Hei!" Dia mengernyit sementara menggosok lengannya. Aku melihatnya, "Maaf, itu dramatis juga."

Perhatianku menyimpang dari Marissa dengan pria setengah baya berbicara dengan Dad ketika ia mengatakan, "Kau bisa tinggal di rumah kami." Aku tidak pernah tahu Dad berteman dengannya, tapi aku tidak peduli bahkan jika dia orang asing. Hal yang paling membuatku marah adalah ketika Dad bilang kita akan tinggal di sebuah hotel, yang akan menjadi mimpi buruk mematikanku.

Kau mungkin bingung, tapi orang tuaku tidak akan memilih hotel mewah empat atau lima bintang, mungkin dua bintang atau lebih rendah. Mengingat hotel yang sudah pernah kami kunjungi di daerah ini, seluruh tubuhku mengernyit jijik.

Aku ingin memeluk pria itu.

"Terima kasih, Malcolm, tapi aku tidak bisa menerimanya," ujar Dad kepadanya.

Ah, namanya adalah Malcolm dan ... tunggu, apa? Apa yang Dad katakan? Apakah ia menolak tawaran untuk menghabiskan malam rumah seseorang, yang nyaman nan hangat secara gratis? Ayolah!

"Tidak, aku bersikeras." Balas Malcolm.

Yes! Go Malcolm, Go!

"Aku tidak tahu, aku terlalu banyak meminta." Serius Dad, serius?

"Hanya untuk satu malam, dan aku akan membantumu pindah besok." Kata Malcolm.

Dad berhenti sejenak, pertimbangan. "Bagaimana menurutmu, puppet?"

Pada saat ini, aku tersenyum dengan bodoh kepada Malcolm saat ia terus meyakinkan Dad, tidak menyadari bahwa pertanyaan Dad 'ditujukan padaku. Aku menatapnya dan kembali ke realita.

"Uh, yeah, kedengarannya keren." aku mencoba menjawab sesopan mungkin.

"Baiklah kalau begitu, kau dapat menghabiskan malam dengan kami." Malcolm tersenyum.

Aku menjerit dari dalam; jeritan yang baik, jeritan lega.
  
   
+++
 
 
Dad memarkirkan mobilnya di tepi rumput dan mematikan mesin. Anehnya, aku menatap ke luar jendela ke rumah sebelum kita, atau harusku katakan, mansion.

Mulutku menciptakan bentuk 'o' seperti menatap bangunan istana. Pilar raksasa sampai langit-langit, menjaga tangga yang berakhir dengan pintu ganda depan. Di tengah-tengah taman depan yang 5 kali ukuran yang kami punya, terdapat air mancur mengalir dengan patung putri duyung dan tokoh duyung yang diukir.

Banyak jendela besar menerangi cahaya dari lampu, menambahkan efek dongeng di seluruh rumah. Saat aku memeriksa setiap sudut rumah dari tempat aku duduk, Dad menghadap aku dan Mom di kursi belakang karena kursi penumpang depan ditempati berangkas kami yang berhasil Dad selamatkan. Di dalamnya ada segala sesuatu yang kita butuhkan: uang, paspor, emas, dan banyak lagi.

"Malcolm adalah teman SMA lamaku yang masih berhubungan selama bertahun-tahun. Dia seorang yang sangat aik, dan aku berharap kau, Lea, untuk menjaga sikapmu." Dad mengatakan dalam nada aku-ayahmu-dan-ini-serius.

Aku berbalik kepadanya dan mengangguk. Yang aku ingin lakukan sekarang adalah mengelilingi rumah ini. Tapi sebenarnya, aku agak ingin tidur.
  
   
***

Tbc.

Bit boring, I know. But don't worry. It'll spice up soon 🔥

Mr. Popular And IWhere stories live. Discover now