Bersih-Bersih

75 11 4
                                    

Haaahaaa hatchu!

Entah keberapakali aku bersin. Sangat membuatku sengsara di atas loteng paling berdebu ini. Meski aku sudah ada senjata lengkap (sarung tangan, masker, sandal rumah, dan alat kebersihan) masih membuatku ingin pingsan sekarang juga.

"Lo kayak tikus gepeng aja, el. Hehehe" kakaknya, Daffa mengejek adiknya sampai mendapat hadiah yang indah. "Apa yang lo maksud tikus gepeng, ha'?!" pelototku seperti ingin mengeluarkan laser dari mataku. "Iya deh. Ampun tikus"

Baiklah lanjut dengan acara bersih-bersih massal. Saat sedang menyapu aku melihat sekeliling. Loteng ini bisa aku jadikan kamarku karena ada jendela yang bisa menghadapkan aku keluar rumah.

"Woi, Elodi! Ngapain lo ngelamun? Ayo nyapu cepet. Nyapu kok setengah-setengah" ceracau kak Daffa. "Iya bebek bawel" ceracahku balik.

"Kak. Menurut lo bagus gak kalo ini kita jadiin ruang rekreasi?" usulku sambil menyapu. "Lo mau bikin kayak di rumah yang di Bandung? Boleh asal kamu mau beres-beres seharian." ujar Kak Daffa. "Ok. Nanti tinggal kita tambahin barangnya aja" usulku lagi yang di sambut dengan anggukan Kak Daffa.

Memang gak ada rencana buat bersihin loteng full time karena ibuku hanya meminta kami bersih-bersih loteng dan terserah mau kami apakan, ya sudah kami bikin ruang rekreasi aja jadi tempat ini gak jadi sarang tikus lagi.

Sekarang tinggal memilah barang-barang. Yang masih bagus bisa di jual atau digunakan kembali jika kami mau dan yang sudah rusak bisa di jual ke bank sampah terdekat.

Aku memilih sebuah cermin tua dengan warna yang cantik (paduan warna biru dan putih yang didominankan dengan ukiran yang cantik). Sedangkan Kak Daffa memilih peti berisi alat-alat melukis milik nenek yang baru meninggal 3 bulan yang lalu.

Usai memindahkan barang-barang kami langsung menata barang-barang rekreasi seperti rak buku milik ibu, kontainer besar berisi mainan milik Anna, adikku, dan juga beberapa sofa empuk beserta tv LCD.

Selesai berurusan dengan loteng aku langsung membersihkan cermin itu dengan lap basah. Setelah kinclong, aku menatap diriku di cermin. Cantik. Hahaha emang itu yang sedang kupikirkan. Kata ibu aku ini cantik dengan kulit putih dan rambut pendek warna hitam legam.

Astaga! Kenapa aku bisa lupa. Aku segera berlari ke kamar, mencari hp, dan menelpon Risa, temanku.

"Halo, Risa?"
"Woi lo di mana sih gue telpon-telpon gak diangakat. Cepetan dateng udah pada rame nih. Si Steven aja udah dateng. Siap sedia sama buku matematika. Udah ya gue mau nyiapin minum buat para umat sekaban nih,"
"Iya iya. Bentar lagi gue nyusul cuma lama dikit. Ok bye bye,"
"Bye. See you later,"

"Aduh! Ada yang tebuka dari ni cermin" keluhku sambil memungut benda yang jatuh itu. Sebuah kalung dengan bandul batu kristal warna biru laut. Bagus juga. Aku memakainya dan merasakan sesuatu yang aneh. Tiba-tiba aku merasakan kepalaku dingin seperti dimasukkan ke dalam air. Dan kalungku mulai bersinar!!!

The Mirror BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang