Chapter 40 (B) - End

4.7K 201 40
                                    

SELAGI membuka secarik kertas itu... tangannya gemetar. Surat itu.

Untuk suamiku tercinta, dariku yang amat sangat mencintaimu. Jika kamu membaca surat ini, berarti aku telah tiada. Maaf bila tak sempat mengatakan secara langsung, karena... Waktuku telah tiba.

Aku merahasiakan beberapa hal darimu tentang perasaanku dan penyakitku. Aku merahasiakannya karena tak ingin membuatmu khawatir, suamiku. Baiklah... aku mulai saja.

Terimakasih, karena datang ke kehidupanku dan mengajarkan banyak hal padaku. Ingat tidak, waktu pertama kali bertemu denganku? Kita bertemu karena aku tak sengaja menabrakmu, walaupun kamu tak apa... tetap saja, aku merasa bersalah. Dan dari sanalah semua berawal.

Awalnya aku berpikir itu hanya perasaan bersalah. Namun... lambat laun, aku menyadarinya. Perasaan itu, bukan perasaan bersalah. Namun... lebih dari itu. Perasaan itu membuncah tatkala kita kembali bertemu di toko buku Mall besar itu. Kita kembali bertabrakan, bukuku berhambur jatuh dan kamu membantuku membawanya. Dan dari sanalah, perasaanku makin tumbuh subur.

Dan yang bodoh nya lagi... aku memberanikan diri untuk makan malam denganmu. Jujur... aku tak pernah seberani itu walau, ya... masa laluku sangat buruk. Sangat amat buruk. Makan malam saat itu memiliki arti penting buatku. Karena pada saat itu... aku makin menyadari perasaan apa yang ada di hatiku.

Pertemuan demi pertemuan seperti sudah diatur oleh Allah. Semua kebetulan itu membuatku berpikir, apakah semua ini adalah takdir yang sengaja di rancang olehNya? Jika memang iya, aku amat sangat bersyukur... karena Allah sangat baik padaku.

Allah telah mempertemukanku dengan orang sebaik dirimu.

Lalu, kejadian naas itu terjadi. Membuatku hampir putus asa. Aku berpikir, apa karena kesalahanku dulu begitu banyak hingga aku layak mendapatkannya? Sepertinya iya.

Lalu, aku bertemu lagi denganmu.

Jika saat itu tak ada dirimu, mungkin aku tak bisa selamat. Mungkin aku tak bisa bertemu lagi denganmu. Suatu kebetulan demi kebetulan yang rasanya... indah sekali. Sebelum kejadian itu, aku sempat belajar menimba ilmu agama di salah satu universitas terkemuka Mesir. Kamu tahu? Mengapa alasanku untuk belajar selain memang aku ingin mendalami Ilmu Agama? Itu karena aku ingin melupakan segalanya tentangmu. Ya... segalanya.

Namun, tak bisa.

Padahal, akupun tak tahu dimana keberadaanmu saat itu. Aku hanya ingin menjauh, entah menjauh karena apa dan mengapa. Aku bodoh sekali.

Lima tahun berselang, aku bertemu lagi denganmu dalam kondisi berbeda. Kau tahu... betapa tak percayanya aku ketika ternyata kau telah menikahi seorang wanita. Rasanya, seperti ada jutaan belati menancap hatiku pada saat bersamaan. Aku coba untuk menerima. Mungkin, Allah menakdirkan kamu tidak berjodoh denganku.

Lalu... kak Annisa memintaku untuk menikahimu. Rasanya... aku sungguh tak bisa. Kamu miliknya, dan dia adalah milikmu. Aku tak mungkin merenggut kebahagiaan yang telah kalian miliki. Kak Annisa baik sekali. Aku berpikir... adakah orang sebaik dan setulus dia?

Tentu aku amat sangat mengerti, itu adalah keputusan tersulit bagi kak Annisa apalagi dirimu. Dan aku paham sekali, pada saat itu kamu belum bisa menerimanya. Tetapi... entah sekarang. Akankah kamu bisa menerimanya...?

Pada saat itu, aku berharap... Kamu menikahiku karena mencintaiku. Namun... harapan itu semu. Kamu butuh waktu. Dan aku amat sangat bahagia ketika kala itu kamu mengatakannya. Itu adalah mimpi terindah dalam hidupku. Aku bersyukur karena Allah mengirimkanku pria sebaik dan sebijak kamu.

Dan suamiku...

Maaf, apabila aku belum sempat membahagiakanmu.

Maaf, apabila aku belum sempat menjadi istri yang baik untukmu.

Maaf, apabila nanti aku tak bisa membesarkan buah hati kita bersama-sama.

Suamiku...

Terimakasih... karena selalu ada dalam setiap hariku.

Terimakasih... karena kamu selalu membimbing dan mencintaiku sepenuh hati.

Terimakasih, selalu melindungiku di saat orang-orang banyak yang berkata buruk tentangku.

Terimakasih, karena kamu selalu berkata lembut denganku.

Dan...

Terimakasih... Karena datang dalam hidupku.

Ohya! Aku belum mengatakan padamu tentang penyakitku. Sebenarnya, setelah insiden kecil di dapur itu... aku langsung memeriksakan ke dokter seorang diri. Bukan tak mau mengajak kak Annisa, hanya saja... aku tak mau membuatnya khawatir. Dia sudah sangat baik padaku, aku tak ingin merepotkannya lagi karena diriku.

Aku mengidap penyakit kista. Walaupun masih kecil, ada baiknya dioperasi. Namun aku tak mau. Dokter pun menyarankan agar aku rutin meminum obat. Ya.. walaupun obat itu hanya berindikasi meringankan nyerinya, bukan mengobati.

Dan aku merahasiakan penyakitku agar kamu tidak khawatir. Aku ingin menjadi seorang istri yang baik untukmu. Dan ketika aku hamil, aku amat sangat senang. Dan... itu adalah kehamilan yang sangat beresiko. Taruhannya antara si bayi atau aku. Walau... penyakit ini tidak begitu berbahaya. Dokter menyarankan agar aku menggugurkan kandungan. Tapi aku tidak mau, aku ingin menjaga apa yang telah Allah titipkan padaku.

Selama kehamilan, nyeri itu kadang datang. Aku sering konsultasi dengan dokter perihal penyakitku. Dokter bilang... bayi kita kuat. Dia mampu hidup di antara kista yang menyerang tubuhku. Aku bersyukur memilikinya juga kamu. Moga Allah selalu menjagamu, kak Annisa, Mixel, Aqeyla, Zeisha, Allen, anak kak Annisa, juga anak kita.

Umm, aku memiliki satu keinginan yaitu... aku ingin menamai putri kita. Beri nama ia...

Alula Fariza Romeesa.

Selamat tinggal, suamiku.

Dari aku yang amat mencintaimu
~ Zacquine Raveesha.

Usai membaca surat itu, Hafidz menangis hebat. Bahunya terguncang. Hatinya menjerit. Ia menutup matanya yang basah dengan kedua tangannya. Ia menatap langit-langit rumah sakit. Menutup matanya. Menumpahkan segala kesedihannya. Tak kuat menahan tangis, ia bersender pada dinding lalu bersimpuh di atas lantai keramik rumah sakit tersebut.

Haruskah ia pergi secepat itu? Bila semua bisa diulang, ia ingin mengulang semua kejadian dan membahagiakan Zacquine. Mirisnya, tak bisa. Waktu tak bisa diputar ulang dan penyesalan selalu datang belakangan.

Itu yang ia rasakan. Menyesal.

Hafidz menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Membiarkan udara memenuhi dadanya yang sesak karena tangisan. Ia menyeka airmata lalu berdiri menatap lurus anaknya yang tertidur lemah di ruang inkubator. Kemudian ia tersenyum, ia berjalan mendekati kaca itu lalu mengusap kaca.

Mengusap kaca layaknya memberikan sentuhan kasih sayang pada anaknya.

Alula Fariza Romeesa.

Ia tersenyum. Memikirkan masa depan anaknya yang akan sekuat, setegar, sebaik, dan secantik istrinya. Zacquine Raveesha.

Hafidz menghela nafas kemudian kembali tersenyum.

"Ayah berjanjiakan terus menyayangimu, Alula."    

The beauty from heart (COMPLETED)Where stories live. Discover now