My whole heart

Will be yours forever

This is a beautiful start

To a lifelong love letter

Aku tidak tahu,  apa aku bisa mencintai lagi. Tapi aku harus mencintai. 

Tell the world that we finally got it all right

I choose you

I will become yours and you will become mine

I choose you

I choose you

Kali ini kita bernyanyi bersama. Malam menjadi hangat.

We are not perfect

We'll learn from our mistakes

And as long as it takes

I will prove my love to you

I am not scared of the elements

I am underprepared, but I am willing

And even better

I get to be the other half of you

Tell the world that we finally got it all right

I choose you....

Aku bisa merasakan Bungas jatuh cinta. Aura indah dan membahagiakan. Mungkin itu kekuatan penghayatan lagu,  membuatmu benar-benar terlihat jujur. 

Melihat senyum Bungas, nampak sepertinya . Dulu. Tiba-tiba perceraian Zulfa mengganggu pikiranku.

Aku tersentak saat semua penonton antusias tepuk tangan,  setelah beberapa detik masih terhanyut dalam lagu.

****

"Bungas," itu suara Audy.  Aku harap dia tidak mengacau. "Wah,  penampilanmu bagus sekali! Kalau daftar idol Indonesia bisa masuk finalis lho."

"Ha ha,  terima kasih." Itu jawaban Bungas.

"Ohya Bungas, ada yang nyariin kamu," kata Audy.

"Siapa?"

"Kakakmu,  di depan."

"Kakakku?" Bungas langsung melangkah cepat keluar. Perasaanku benar-benar tidak enak. Kuikuti Bungas. Benar saja,  kakaknya menunggu di depan gerbang,  berjongkok menyangga kepala.

"Ada apa Kak?" tanya Bungas lirih.

"Bungas, pinjam uang 500.000 dulu dong,  lusa aku ganti," aku mendengar jelas karena memilih bersembunyi di balik pagar.

"Aku nggak punya Kak.  Tolong jangan datang sembarangan,  aku lagi kerja," ucap Bungas bergetar.

"Apa kamu bilang?  Sembarangan?! Kakak pinjam baik-baik,  karena mendesak!"

"Dan aku tidak punya uang!" sergah Bungas.

"Kamu minta honor dulu aja Bungas. Sekarang Kakak butuh."

"Nggak bisa Kak. Aku belum selesai kerja! Pulanglah," lirih Bungas suaranya serak.  Tiba-tiba dia berlari masuk ke dalam. Aku yakin dia down lagi. Berniat menyusul Bungas,  aku mengintip ke arah kakaknya Bungas.

"Kakak sebaiknya pulang saja. Biar aku yang antar Bungas ke rumah." Suara siapa itu? Aku melihat lebih jauh. Caesar?

"Kali ini kubiarkan Kakak mengganggu Bungas," lanjutnya lagi.

"Jangan sok baik kamu Caesar. Kamu pikir aku tak tahu otakmu?  Kamu hanya memanfaatkanku supaya Bungas tidak berlama-lama di sana,  bersama Alvan!" jawaban kakaknya Bungas membuatku mundur. Apa itu? Benar-benar kekanak-kanakkan! Aku segera berbalik dan menyusul Bungas.

"Bungas," aku memanggilnya yang duduk melamun di sudut taman. Bungas menoleh,  dia mengusap-usap wajahnya, lalu menatapku serius.

"Keberuntungan orang itu berbeda-beda,  begitu juga cobaan. Kamu cukup beruntung bisa nyanyi bersamaku hari ini."

"Hah? Apah?!" Matanya membulat,  dan mulutnya terbuka. "Apa tadi kamu bilang?"

"Kamu denger. Jangan pura-pura."

"Wah ... jinjja! Beruntung nyanyi sama kamu?! Daebak! Narsisme dari mana ini? Kok bisa ngaco banget!" cibirnya terkekeh.

Dia tertawa.  Syukurlah.  Setidaknya sedikit menghibur.

"Kenyataan itu tidak bisa kamu pungkiri. Dalam hatimu pasti sangat senang dan bersyukur," lanjutku kemudian.

"Bwa ha ha ha, arrasseo, oke oke,  aku senang,  aku bersyukur,  karena bisa duet bareng Alvan Pangeran Es yang melankolis," ledeknya.

"Kok melankolis?"

"Karena matamu yang berbicara," jawabnya.

"Mataku?"

"Matamu teduh,  dan terkadang berbicara banyak hal."

"Kau pikir mataku pohon? Berbicara?  Aku tidak merasa berbicara banyak."

"Terserah kamu ajalah."

"Stalking ya?" tudingku menggodanya.

"A-APA?! Enak aja!  Ya e-enggaklah!"

"Jawabannya cukup mengiyakan. Asal jangan menjadi penyebar gosip saja," celetukku.

"Enak kamu nuduh-nuduh! Aku mang kepo-an,  tapi bukan penggosip tahu!"

"Ya ... jadi pengakuan."

"Tahu ah!  Nyebelin ngomong sama kamu! Tapi kumaafin kali ini! Ayo siap-siap tampil lagi," katanya ngambek tapi aneh. Lucu. Ia melangkah pergi, aku mengikutinya.

"Siapa yang minta maaf?" kelakarku.

"Kamu gila ya?"  Kali ini dia berbalik dengan setengah melotot.

"Enggak.  Aku aman kok." Jawabanku membuatnya mendengus. 

"Dasar alter ego!"

"Apa?"

"Ah, terserahlah! Jangan mengikutiku!"

"Kamu yang menyuruh tadi."

"Apa? Dasar tidak peka!" dengusnya tak percaya sembari menghentakkan kaki kemudian melangkah pergi. Ha ha,  lucu.

****

"Bungas," suara Caesar. Seusai bernyanyi,  dia langsung menemui Bungas. Bungas menoleh ke sumber suara,  dan nampak terkejut. Buru-buru ia berlari ke Caesar.

"Ada apa? Kok ke sini?" ini tebakanku ia bertanya  seperti ini, melihat ekspresinya dan gerakan mulutnya dari kejauhan.

"Menjemputmu. Ayo pulang," kata Caesar langsung menggandeng tangan Bungas. 

"Kamu bukannya lagi dihukum sama nenek, nggak boleh keluar?" kali ini aku mendengarnya,  karena langkahku mendekati Bungas dan Caesar. 

"Itu urusan nanti. Aku disuruh Ibu menjemputmu."

"Aku bisa mengantar Bungas," sergahku memotong pembicaraan. Bungas nampak terperangah. "Dia tanggung jawabku malam ini."

"Tidak perlu,  karena ada aku. Aku disuruh ibunya," jawab Caesar penuh intimidasi. 

"Bungas mau pulang sama siapa?" tanyaku padanya.

"A-aku ... mau pulang sama Alvan, Caesar.  Kamu pulanglah duluan," jawabnya akhirnya. Jawaban yang membuatku lega. Ini balasan karena berbuat curang.

"Tidak bisa Bungas.  Ibu khawatir! Ayo pulang sekarang!" setengah membentak,  Caesar menarik lengan Bungas.

"Aku bisa menelpon---" kalimat Bungas menggantung saat aku menahan tangannya.

Bungas menatapku dan Caesar bergantian. "Apa sih kekanak-kanakkan banget kalian. Melototikunya? Aku sudah bilang, akan pulang sama Alvan,  Caesar. Ada perlu, kamu sebaiknya pulang," tegas Bungas. Sedikit naik sudut bibirku melihat Caesar kesal. 










I Will Find You (Completed)Where stories live. Discover now