Sosoknya begitu menyedot perhatian Alif. Dia nampak bersinar di antara wajah-wajah yang tampak kusam sekitarnya. Seolah ada ratusan cahaya lampu yang menyorot dan mengikuti setiap langkahnya. Jantung Alif berdegup kencang. Dia hampir tidak mempercayai penglihatannya.

Kedua bola matanya terus tertuju pada wajah bersinar yang sedang merapikan rambut. Alif menyebut nama Tuhan ketika memandangnya. Bahkan Alif sendiri kaget saat mendengar kata yang keluar dari mulutnya. Hal yang jarang terjadi. Sudah berapa lama pita suaranya tidak menyebut nama Tuhan?

Wajah perempuan itu luar biasa cantik. Teramat cantik. Cuantikk, lebih tepatnya lagi. Kacamata bertengger di hidung mancungnya. Kulitnya putih. Putri tidurnya kali ini mengecat rambutnya dengan warna hitam. Si hitam legam itu panjang tergerai. Ada yang terurai ke depan hingga sebatas dada, menutupi sebagian kemeja berwarna merah jambu yang dia kenakan. Bergulir ke bawah, rok hitam panjang terjuntai hingga selutut. Di tengah kegiatan menyusuri rok panjangnya, angin nakal berhembus dan berlari-lari mengitari ujung lipatan rok. Membuat ujung roknya menari-nari.

Dalam sedetik, Alif lupa caranya bernapas. Untuk saja dia berhasil menarik udara pelan-pelan, mengumpulkan sisa-sisa ingatan untuk mulai bernapas dengan normal.

Kedua mata Alif terpaku di satu tempat. Ujung rok perempuan itu yang sedikit tersibak, membuat sesuatu yang semula tertutup jadi mengintip sedikit pada kaki-kakinya. Walaupun hanya sebatas mata kaki dan betis bagian bawah namun Alif tidak sanggup untuk menjelajah lebih jauh lagi. Seumur-umur dia hidup di dunia, hanya satu orang yang membuat Alif terpana hanya karena melihat mata kaki dan betis. Cewek itu adalah Indira.

Cewek yang sama dengan yang dia dia lihat saat ini. Ya, itu memang Indira. Alif masih ingat dengan jelas bagaimana wajah Indira.

Langkah kaki perempuan itu membawanya semakin dekat dengan Alif. Tanpa sadar jantung Alif semakin terpacu. Suaranya seperti sebuah tabuhan gong. Apakah detak jantungnya akan terdengar oleh orang lain? Dia gugup. Kedua telinganya tidak bisa mendengar hal lain selain suara detak jantung dan suara langkah dari sepatu si perempuan yang bergantian.

Dia mau nyamperin gue? Apa dia sadar gue terus liatin setiap gerak-geriknya? Dia masih ingat sama gue? Alif bergumam dalam hatinya.

Tanpa dia sangka sebelumnya, perempuan itu membalas tatapan mata Alif. Selama sepersekian detik mata mereka saling mengikat hingga mata perempuan itu yang pertama kali melepasnya. Menyadari Indira yang menatapnya tanpa ada rasa takut, Alif yakin Indira tidak mengenalinya. Tentu saja, Indira lupa. Pertemuan pertama mereka terjadi beberapa bulan yang lalu. Sementara Alif masih ingat wajah itu.

Arah mata Indira turun sebentar lalu segera mengalihkan pandangannya ke depan dengan panik. Tangannya membetulkan kaca matanya dengan kikuk. Setelahnya langkah kaki anggun perempuan itu sedikit tersendat. Sepertinya kakinya terantuk batu.

Aaah, awas! Jatuh! Dasar, Indira. Lo gandeng-able banget sih, batin Alif. Melihat perempuan itu hampir saja terjatuh, rasanya pengen gandeng. Kenapa kaki Indira selalu saja membuat Alif khawatir? Dulu kakinya keseleo, sekarang dia terantuk batu.

Alif sempat melihat ujung bibir Indira terangkat ke atas sebelum tangan kanannya diarahkan ke depan bibir untuk menutupinya.

Maksudnya apa coba? Senyum-senyum sendiri?

Tingkah Indira yang tiba-tiba kikuk setelah menurunkan pandangan mata, membuat Alif curiga. Alif mengerutkan kening. Memangnya apa yang salah dengan bagian bawah tubuhnya sehingga perempuan itu tampak panik lalu tersenyum geli? Kepala Alif perlahan menunduk hingga dia menyadari posisinya saat ini. Kedua kelopak matanya melotot.

Dia duduk bersila. Tangan kanannya tengah memegang buku dan mengipas bagian celana di sekitar resleting yang basah. Dilemparnya buku tulis milik Sam. Buku jahanam!

Alif malu setengah mati. Detik itu juga dia ingin menggali lubang kuburan di taman kampusnya. Untuk mengubur Sam hidup-hidup.

Indira sudah melintasi Alif yang sedang duduk di pinggir taman. Indira benar-benar lupa dengan Alif. Sekali lagi, angin nakal kembali berulah. Kini bukan hanya rok panjang tersingkap yang merebut perhatian Alif. Namun angin itu membawa serta wangi tubuhnya yang secara tanpa sengaja tercium melewati kedua lubang hidung si pria yang tengah menahan malu. Setelah yakin perempuan itu menjauh, Alif berteriak pada Sam.

"Samsul Riyadi!" geram Alif.

Satu-satunya senjata yang dibawa Sam yaitu botol minuman yang isinya sudah kosong, dilemparkan ke punggung Alif. "Alif Pamungkas! Udah gue bilang jangan panggil nama lengkap gue. Nyari masalah lo?"

Alif tidak peduli dengan Sam yang mengancamnya. Sam yang duluan cari masalah. Pikirannya saat ini berputar mencari-cari tempat mana di kampus ini yang sekiranya aman untuk melenyapkan Sam.

"Cewek itu tadi, Sam! Lo masih ingat Indira?" Alif melempar botol kosong di belakangnya ke arah Sam. "Itu tadi Indira. Kita ada di kampus yang sama. Dan sialnya, dia liat gue lagi ngipasin celana yang basah gara-gara lo! Lo bikin gue malu. Berdiri lo! Mau gue tenggelamin ke kolam ikan deket fakultas pertanian!"

Bukannya berdiri seperti yang disuruh Alif, Sam malah gulung-gulung di atas rumput sambil memegangi perutnya yang keram karena tertawa puas.

"Tawa! Puas lo!"

Perlahan gelak tawa Sam mereda. Pria itu bangkit untuk duduk kembali. Beberapa rumput kering menempel pada seragamnya namun Sam tidak peduli. Dia berdeham-deham. "Jadi cewek yang dulu takut sama lo itu liat lo ngompol?" Sekali lagi mulut Sam terbuka lebar karena tertawa. "What a fate, Lif!"

Tangan Alif menunjuk ke arah pergi putri tidurnya namun sejauh mata memandang, perempuan berbaju merah muda itu sudah tidak ada. Matanya berkeliaran ke arah gerbang kampus. Hanya ada segerombolan mahasiswa baru. Mereka mengenakan seragam yang sama dengannya. Atasan kemeja putih dengan bawahan rok atau celana panjang abu-abu. Wajah mereka menampakkan raut kelelahan. Dia mencari perempuan berbaju merah muda.

"Mana, Lif?" Sam mengikuti telunjuk Alif yang menunjuk ke beberapa arah. Matanya ikut mencari-cari cewek bening yang dimaksud Alif.

Dahi Sam mengernyit dan lidahnya berdecak.

Alif ikut berdecak. "Udah nggak ada, Sam. Cepet banget ngilangnya."

Kemudian Alif sibuk merutuki dirinya sendiri karena tidak menghampiri Indira. Bukankah selama ini Alif selalu terbayang-bayang oleh Indira? Sekarang, ketika dia tahu bahwa dia satu kampus dengan Indira, dia harus mencari Indira di mana? Kampusnya besar.

**


Coffee with Sugar (Alif)Where stories live. Discover now