Chapter 4: Nothing Is Impossible

1.1K 187 7
                                    

BRUKK!

CIT!

Terdengar suara decitan bersamaan dengan ambruknya tumpuan Caspian. Dengan panik, ia berusaha untuk bangun, namun sebelum ia bisa terduduk, sesuatu mendarat di atas dadanya. "Pilihlah kata-kata terakhirmu, Temarine!" Ancam seekor tikus berpedang dengan cincin berbulu menghiasi kepalanya.

Caspian mencoba melogikakan pemandangan di hadapannya sambil berkata, "Kau seekor tikur." Ia bahkan bingung apa dirinya bertanya atau memberi penyataan.

Tikus itu menghela nafas. Ia sudah muak dengan respon yang sama setiap kali menghadapi manusia. "Aku berharap sesuatu yang sedikit lebih orisinil. Kalian tidak punya imajinasi ya? Ayolah, ambil pedangmu."

"Umm... tidak terima kasih. Aku masih ingin hidup," jawab Caspian ragu. Ia menengok ke arah Phil sambil melototinya. Ia ingin meminta tolong, tapi ia tidak ingin menyindir tikus itu.

Kalau benar tikus itu yang telah melumpuhkan prajurit-prajurit yang mengejar mereka barusan, berdiam adalah pilihan terbaik daripada memancing amarah si tikus yang bisa menyayat Caspian kapan pun. Untuk kesekian kalinya, itu yang ia lakukan, meskipun dalam otaknya ia bertanya pada dirinya sendiri. Dunia macam apa ini? Tuhan.. kalau nanti ku temui kecoak terbang berpanah yang bisa bicara, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

Tikus itu mengacung-ngacungkan pedang kecilnya ke arah Phil. "Dan, siapa kau?" tanya tikus itu kepada Phil untuk memecahkan lamunannya.

"Oh, umm, bukan siapa-siapa, anggap saja aku tidak di sini," timpalnya canggung.

"Simpan pedangmu, Reepicheep!" teriak Trufflehunter.

"Trufflehunter? Aku percaya kau punya alasan yang bagus untuk gangguan di waktu yang tidak tepat ini," jawab tikus itu menyindir.

"Abaikan kami! Teruskan saja!" seru Nikabrik.

Trufflehunter menjelaskan bahwa Caspianlah orang yang meniup tanduk. Phil tentu masih tidak ingin percaya ada sesuatu yang istimewa dari terompet tanduk Caspian. Ia bahkan masih menolak percaya kalau binatang bisa bicara di tempat itu, namun ia tidak bisa menyangkalnya keajaiban dunia itu saat empat pria setengah kuda muncul dari balik pepohonan. Salah satunya menyebutkan bahwa tanduk itu adalah alasan mengapa mereka berkumpul.

Phil berpikir, Centaurus? Terus saja! Tuhan, bawalah aku pergi dari sini!

*****

Jauh di sisi lain hutan, keempat Pevensie, Luna dan Trumpkin masih terus mencoba menjelajahi hutan. Mencoba mencari Phil. Menyusuri jalan-jalan curam dan lembab.

"Aku sama sekali tidak ingat jalur ini," celetuk Susan. Ia merasa tidak mengenali jalur kecil di antara batu-batu besar yang sedang mereka lewati.

"Begitulah perempuan. Kalian tidak bisa membawa peta di pikiran kalian," sindir Peter sembari terus 'membimbing' jalan mereka.

"Mungkin karena kami punya hal yang lain yang kami pikirkan di dalam pikiran kami. Hal-hal yang lebih penting." Lucy membela diri.

Luna yang lebih banyak berdiam diri selama perjalanan mulai panas telinga. Kesunyiannya sendiri lama kelamaan mengganggunya. Dari segala hal yang kakak-kakak Pevensie itu katakan, Peter paling membuatnya jengkel. Ia pikir sang kakak tertua terlalu sering berpikir bahwa ia tahu segalanya. Bahwa semua orang akand engan suka rela mengikuti langkahnya tanpa bertanya. Namun ia tahu posisinya sendiri sedang sulit. Saat ia melihat barisan di depannya terhenti, ia hanya bisa menghela nafas.

Peter hanya berdecak dan memilih untuk mengabaikan keluhan tanpa kata yang keluar dari mulut Luna. Ia sudah terlalu kesal pada dirinya sendiri. "Aku tidak tersesat," ucapnya.

"Tidak, kau hanya pergi ke arah yang salah," jawab Trumpkin. "Lagi."

Saat itu, Lucy merasa melihat sesuatu di seberang tebing dan berteriak. "Aslan? Itu Aslan di sana! Tidakkah kau lihat?" Ia menunjuk-nunjuk tebing di seberang mereka. Ia berusaha mengalihkan perhatian mereka, namun dalam seketika, ia terbata-bata. Saat ia melihat kembali kearah itu, ia tidak menemukan apa pun kecuali pepohonan dan rerumputan. "Dia disa- na."

"Kau lihat dia sekarang?" sindir Trumpkin untuk kesekian kalinya hari itu.

Lucy membela diri. "Aku tidak gila. Dia di sana. Dia ingin kita mengikutinya."

Yang lain mencoba menyangkal. Berpikir bahwa apa yang Lucy lihat hanyalah halusinasi. Namun Edmund lebih tahu. Ia membela, "Terakhir kali aku tidak mempercayai Lucy, aku berakhir terlihat cukup bodoh." Ia tahu betul Lucy tidak akan berbohong. Ia tidak pernah berbohong sejak awal mereka ada di sana bertahun-tahun yang lalu.

"Mungkin kita harus memeriksanya. Setidaknya kalau memang Lucy melihat sesuatu, kita harus menganggapnya serius. Jika itu bukan Singa berbicara yang kalian sebut-sebut, bisa saja itu singa liar." Luna menyapu keningnya yang berkeringat sambil terkekeh, "dan yang aku tahu, aku belum mau mati hari ini."

Tanpa berbicara lagi, Peter, Susan dan Trumpkin berbalik untuk mencari jalan lain, diikuti Lucy, Luna, lalu Edmund. Edmund terkekeh dengan caranya menanggapi kejadian itu. Gadis di hadapannya bisa saja berteriak panik, berlari kalang kabut, atau terdiam dengan skeptis. Namun dalam keadaan seaneh itu, ia masih bisa bercanda.

Luna sempat berbalik ke arah "Aslan" yang ditunjuk Lucy. Di saat-saat penuh keputusasaan seperti ini, ia berharap semua ini hanyalah mimpi. Ia tidak ingin percaya bahwa ada singa agung mengaku sebagai penguasa di daerah itu. Para Pevensie dan bahkan dwarf Trumpkin yang selalu pesimis itu terdengar cukup yakin dengan keagungan Aslan. Mereka terus bercerita tentang singa itu seakan-akan semua kebingungan akan berakhir jika ia muncul. Jika Aslan benar di sini, mungkin ialah yang bisa membantunya menemukan kakaknya. Setidaknya itulah yang ia coba percayai. Namun jika ada satu orang yang membuatnya yakin untuk terus percaya. Ia sudah ada bersamanya.

Lost in Time: The Beginning (BOOK 1 - TAMAT)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz