Prolog

17.7K 373 17
                                    

Bis itu meraung-raung menempuh perbukitan, membelah hutan dan perkampungan. Setengah jam kemudian, bis yang berisi rombongan dari sebuah SDIT, sampai di halaman masjid SMPIT Nurul Fikri Anyer, Banten.

Seluruh rombongan, yang disusul rombongan di bis-bis lain, mengistirahatkan diri di pelataran masjid, sekalian menunaikan sholat dzuhur.

"Yang mau ngemil, sini..." Seru seorang ibu-ibu berjilbab lebar sambil membuka bungkusan berisi malkist dan biskuit.

"Mau..." Seru beberapa guru yang masih gadis sambil mendekat.
Mereka berkumpul setelah menunaikan sholat dzuhur sambil menunggu rombongan terakhir.

Selesai sholat dzuhur, rencananya mereka akan turun bukit menuju rumah salah satu ustadz yang mengajar di SMPIT itu.

Menjelang ashar, mereka sudah berkumpul di rumah salah seorang ustadz, di sana kepala sekolah SDIT dan dewan guru  mengobrol dengan ustadz pemilik rumah tersebut, sekaligus sahabat salah seorang pendiri yayasan SDIT.

Guru-guru SDIT yang akan mengikuti pelatihan outbond langsung menuju asrama dan menyimpan barang-barang di sana. Di Nurul Fikri mereka akan menginap sekitar 2 malam dengan kegiatan padat.

Selesai sholat maghrib dan makan malam, seluruh peserta outbond menonton pemutaran film perjuangan rakyat Palestina melawan penjajah, Zionis Israel.

"Inget ga dulu, yang pernah aku ceritain. Seorang guru terpaksa dipindahin ke asrama yang agak jauh gara-gara menyebabkan santriwati terpikat karena kemanisan rupa dan perilakunya?" Tanya Fauziah gadis tinggi semampai berkulit hitam manis pada sahabatnya, Mei-mei, gadis sipit berkaca mata.

"Inget. Kenapa gitu?" Tanya Mei-mei.

"Tuh yang itu orangnya" ujar Fauziah sambil menunjuk dengan samar ke arah seorang ikhwan yang sedang berdiri di belakang sound system di arah kiri aula. Otomatis mata Mei-mei mengarah pada ikhwan itu.

"Apanya yang bikin sampai heboh si?" Tanya Mei-mei lugu

"Emang ga lihat, orangnya semanis itu" kata Fauziah.

"Emang lumayan manis, tapi masa sampai santriwati nyamper-nyamperin terus?"

"Aih...gak percaya. Ntar kenalan deh sama orangnya, nanti baru tahu" ucap Fauziah. Mei-mei mengamati ikhwan itu sekali lagi, dia masih belum menemukan apa yang membuat santriwati heboh sampai-sampai membuat situasi darurat dan ikhwan itu terpaksa dipindahkan ke asrama yang jauh dari sekolah.

Malam itu ditutup dengan tidur lebih awal agar sepertiga malam bisa tahajud dengan segar.

***********************************

Asrama terdengar riuh dengan suara guru-guru peserta outbond. Ada yang wudhu, mandi, tilawah, ngobrol, dan lain sebagainya. Mereka bersiap-siap untuk menunaikan jama'ah sholat subuh di mesjid.

Selesai menyantap sarapan di aula, guru-guru itu menuju area outbond dengan berjalan menaiki bukit. Area outbond terletak sekitar 4 bukit dari asrama. Jadi sebelum outbond dimulai, mereka sudah pemanasan terlebih dahulu.

Arena outbond pertama adalah berjalan di atas tunggul-tunggul kayu dengan tinggi bervariasi. Dilanjut dengan berjalan di atas jembatan yang terbuat dari gelondongan kayu sebesar betis. Tampaknya mudah, tapi dengan telapak kaki yang basah dan bekas hujan tadi malam, itu agak menyulitkan. Banyak sekali peserta yang jatuh terpeleset.

Rintangan selanjutnya menaiki tangga yang melengkung seperti pelangi setinggi 2 meter dari permukaan tanah. Bagian naik dan turun memang mudah, tapi bagian yang datar membuat beberapa peserta ketakutan dan memutuskan untuk mundur. Mei-mei merayap dengan bagian depan tubuhnya agar bisa sampai ke ujung bagian datar lalu turun. Panitia mentertawakan cara yang dipilihnya. Seharusnya tangga bagian datar itu dilalui dengan cara agak jongkok, bukan merayap dengan perut.

Rintangan berikutnya adalah menyeberangi kolam air dengan bergelayutan di tali, mirip dengan Tarzan kalau sedang bergelantungan di akar-akar pohon. Beberapa peserta yang usil melakukannya sambil berteriak "auoooooooo" meniru Tarzan. Disambut tawa panitia dan peserta lain.

Selesai di situ, peserta berjalan kaki menuju arena jaring laba-laba, kemudian dilanjut dengan meluncur di air terjun buatan, menyeberangi sungai dengan berpijak pada seutas tali dan berpegangan pada seutas tali pula, sampai di tengah sungai, harus loncat dan berenang sampai bibir sungai.

Bagi peserta yang phobia genangan air, arena ini benar-benar membuat stres. Banyak peserta yang berteriak karena takut nyemplung ke air. Mei-mei sudah terbiasa berenang di air  waktu kecil, hanya saja kekeruhan dan ketenangan air sungai itu membuatnya teringat pada film documenter tentang buaya, jadi itu yang membuatnya berdebar-debar ketakutan.

Lelah dengan arena-arena yang sudah dilewati, para peserta memutuskan mengistirahatkan diri di atas rerumputan di pinggir sungai. Saat mereka meluruskan kaki sambil ngobrol, dua orang ustadz lewat di jalan aspal dekat sungai. Mei-mei memandang ustadz-ustadz yang sudah agak menjauh itu, yang salah satunya adalah guru ngajinya. Sambil memandang punggung ustadz-ustadz itu Mei-mei tak menyadari bahwa hatinya melantunkan sebuah doa

Ya Allah, berikan satu saja murid dari ustadz itu (ustadz yang satu lagi, yang bukan guru ngajinya) sebagai jodohku.

Sedetik kemudian dia sibuk mengobrol dengan rekan-rekannya.
Merasa sudah cukup beristirahat, mereka melanjutkan ke arena berikutnya.

Danau buatan itu seluas 50 x 70 meter kurang lebih. Di pinggirnya ada sebuah pohon kelapa yang dipasangi tangga sampai mendekati area buah. Di ujung anak tangga itu dipasang sebuah lantai kayu seluas 2 x 2 meter persegi tempat berpijak. Dari tempat itulah peserta meluncur ke tengah danau dengan ketinggian sekitar 30 meter bergelantungan di tali. Di tengah-tengah danau peserta harus menjatuhkan diri tepat di tengah-tengah bolong ban karet sebagai pelampung kemudian berenang ke bibir danau. Syaratnya, jangan panik saat tubuh masuk ke air. Panik bisa menyebabkan tenggelam meskipun sudah mengenakan pelampung. 

Mei-mei sering melakukan hal ini waktu kecil, di sungai belakang rumah, tapi tentu saja tidak setinggi ini. Dia agak gugup dan juga takut tapi juga penasaran dan merasa tertantang. Satu persatu tangga dinaikinya hingga sampai di lantai kayu buatan seluas 2 x 2 meter itu.

Mei-mei ingat, guru ikhwan yang dipindahkan itu yang kali ini berjaga. Kali ini Mei-mei bisa lihat, laki-laki ini memang berwajah sangat manis. Tidak tampan seperti Alghazali, tapi manis.

"Jangan takut ya.." ucap ikhwan itu.

"Ga takut kok" ucap Mei-mei, datar.

"Bagus dong. Bisa masang talinya?" Tanya ikhwan itu, tersenyum. Kalau saja Mei-mei tidak ingat untuk segera menundukkan pandangan, dia yakin dia bisa refleks mencubit pipi ikhwan itu saking gemasnya.

"Bisa" ucapnya singkat. Dia tahu dia tak boleh berlama-lama dekat ikhwan ini, bisa berabe. Jadi dia segera memasang tali pengaman dan pelampung sekuat mungkin lalu meraih pegangan dan meluncur.
Dia kini tahu, kenapa santriwati sampai tak bisa menahan diri, kenapa guru yang satu ini harus segera dipindahkan dari rumah dinasnya yang dekat sekolah ke asrama putra yang jauh dari sekolah. Dia sudah melihat pesona ikhwan itu dan terlalu takut untuk melihatnya lebih jauh.

Jodoh Di Bulan RamadhanWhere stories live. Discover now