Sanksi Sosial

4.3K 466 8
                                    


Dadaku berdegup kencang. Panik membalut sekujur ragaku. Segenap nalar kuusahakan untuk terus fokus mengendalikan laju motor yang kukendarai.

Pulang.

Secepatnya!

Itu teriakan nuraniku sedari tadi.

Selepas mendengar kabar dari ibuku melalui sambungan telepon.

"Bulan, Cinta sakit lagi... badannya demam. Gak mau makan. Lemes gitu aja..."

Sakit.

Sudah setahunan ini, putri mungilku ini mudah sekali sakit. Seingatku sudah dua kali dia terserang flu. Batuk. Demam. Pilek.

Flu setahun dua kali, normalkah?

Dokter umum di klinik kesehatan 24 jam dekat rumah waktu itu mengatakan hal itu masih tergolong wajar.

Perubahan cuaca yang ekstrem. Begitu katanya.

Iyakah?

Tapi belakangan Cinta juga jadi mudah demam. Hilang nafsu makan. Lemas. Seperti tak bergairah untuk melakukan apapun.

"Mungkin kecapen. Atau...."

"Atau apa, Bu?" kataku suatu kali saat membicarakan kondisi Cinta yang mudah sakit.

"Mungkin.... luka bathin.... kamu... kamu betulan tidak ingat siapa papanya Cinta? Mungkin bathinnya Cinta tertekan dengan ejekan teman-temannya...."

Kalimat ibu bagaikan tusukan pedang tajam di hatiku. Hujamannya begitu perih. Bathinku merintih merasakan sayatannya.

Tidak. Aku tidak menyalahkan ibu.

Sungguh. Ibu dan bapak bahkan adik-adikku sudah begitu toleran dalam menerima aib yang kulempar ke keluargaku ini.

Pulang ke rumah. Hamil. Tanpa tahu siapa lelaki itu. Bahkan namanya pun aku sungguh tak punya. Mbak Yuniar juga bingung. Merasa ikut bertangung jawab.

"Bulan! Ampuun. Aku gak tahu kamu tuh pergi sama siapa? Ngilang gitu aja. Aku cari-cari. Seriusan, aku sampai panik," begitu tuturnya saat aku pulang ke apartemen Mbak Yun keesokan harinya, setelah aku bermalam di rumah lelaki itu.

Aku dan kelakukanku sudah menyusahkan semua orang.

Iya. Aku.

Selama ini keluargaku begitu kuat menghadapi pengucilan dari para tetangga.

Sanksi sosial. Begitu bapak pernah berucap dengan ikhlas.

"Tidak usah balas membenci mereka. Apa yang mereka nilai, mereka sikapi.... itu wajar. Kamu harus kuat menerima semua gunjingan, cibiran dan hujatan itu sebagai konsekuensi atas apa yang pernah kamu perbuat. Toh kita tidak hidup di luar negeri. Ini negeri yang religius. Ada budaya dan norma ketimuran yang masih berlaku. Kamu itu... melawan arus. Apalagi kita tinggal di perkampungan. Memiliki anak di luar nikah, apalagi tanpa tahu siapa lelaki itu... sangat tabu...."

Ucapan bapak itu aku terima dengan tegar. Tidak. Bapakku itu tidak membenciku. Sama sekali. Beliau hanya bicara apa adanya. Mempersiapkan aku untuk menerima apa yang bapak sebut sebagai sanksi sosial.

"Bu... bagaimana dengan Cinta?" dengan panik, aku bergegas masuk ke dalam rumah.

"Sedang tidur. Tadi merengek terus minta ketemu kamu. Makanya Ibu telepon. Bukannya mau ganggu kamu di kantor..."

"Iya, Bu... Bulan mengerti.... Terima kasih, Bu..."

Secepatnya aku masuk ke kamar tidurku.

Duduk di tepian ranjang. Kubelai wajah mungil putri kecilku. Suhu kulitnya masih panas. Cinta masih demam.

"Mama..." katanya mulai merengek.

"Iya, sayang... ini Mama..."

Perlahan matanya dibuka. Bibirnya mulai bergetar. Sedetik lagi Cinta akan menangis. Kuraih tubuh ringannya. Kurengkuh Cinta dalam pelukku. Kubuai dengan lembut.

"Ssshh....sudah jangan nangis... Cinta pusing?"

"Dalam tangis yang tertahan Cinta mengangguk. Kita ke dokter yah... nanti diobatin supaya Cinta sehat lagi... bisa main..."

"Gak ada yang mau main sa-sa-ma...a-kuuu..." ucapnya dengan nada bergetar. Tangisnya seketika pecah.

"Ssshh....sshhh..." aku berusaha menenangkannya dengan segenap perih yang melukai setiap senti jiwa dan ragaku.

Tuhan.

Aku mohon....

Jangan biarkan siapapun lagi menyakiti Cinta.

Aku saja. Cukup.

Biarkan mereka menghakimiku. Tapi jangan Cinta. Jangan lagi.

"Bulan..." kata ibuku sambil menepuk bahuku.

Aku segera melihat ke arahnya.

"Kita siap-siap bawa Cinta ke dokter. Ibu udah cek di klinik, dokternya sudah datang tuh..."

Aku menggelengkan kepala.

"Kali ini aku mau bawa Cinta ke rumah sakit aja, Bu. Ke dokter spesialis anak."

Dahi ibu berkerut.

"Kamu yakin? Uangnya ada?"

Aku mengangguk.

"Insya Allah."

"Ya sudah. Ibu telepon taksi kalo gitu?"

"Iya, Bu..."

Memahami Rembulan #3 Undeniable Love SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang