20 - Menelan kenyataan pahit

1.1K 40 11
                                    

LUCIA'S POV

4 hari kemudian

Hari ini gue udah boleh pulang dari rumah sakit, meskipun masih dengan perban di kepala.

Tubuh gue udah mulai membaik, gue masih bisa menggerakan seluruh bagian tubuh dengan sempurna.

Lalu bagaimana keadaan perasaan ini?
Semuanya hambar. Gue serasa mayat hidup, raga tanpa roh didalamnya. Gue gak tau harus apa, gue gak punya harapan untuk bertahan hidup. Gue mati rasa.

Saat koma kemaren, gue selalu berharap gak pernah bangun lagi.

Lebih baik tertidur untuk selama-lamanya dari pada hidup dalam kesakitan seperti ini.

Tapi kehendak Tuhan berbeda, Tuhan masih ingin gue melanjutkan cerita ini. Cerita hidup yang gak tau akan berakhir seperti apa.

Kevin.
Saat gue terbangun dari koma gue gak ngeliat dia sama sekali.

Bahkan saat Bella sering menjenguk kesini, dia gak pernah bahas Kevin sedikitpun. Dan gue pun enggan membuka pembicaraan tentang dia.

Dia tiba-tiba menghilang, gue gak tau apa yang sebenarnya terjadi. Gue bingung.

Apakah benar Kevin kembarannya Kelvin, kenapa saat gue kecil gak pernah tau dia punya kembaran? Apakah Kevin itu Kelvin yg lagi berpura-pura? Tapi kenapa selama gue sama Kevin dia gak sama sekali menunjukan bahwa dia itu Kelvin. Apa dia lupa ingatan?

"Ahhh" gue memegang kepala yang tiba-tiba pusing. Ini semua membingungkan, dan sangat menyakitkan. Siapapun plis kasih tau gue, gue gak kuat kayak gini.

Air mata kembali menetes turun, hilang terserap baju yang gue gunakan dan meninggalkan bekas basah.

Seperti sakit ini yang hilang tetapi masih terus membekas menyisakan luka-luka kecil tetapi sangat perih dan menyakitkan.

Terdengar pintu terbuka. Samar-samar gue melihat Bella, dia memang berjanji mau mengantar pulang ke rumah. "Lucia" Bella menghapiri gue. "Lo kena..." Gue langsung memeluk Bella.

Untuk pertama kalinya gue menangis di depan orang lain selain Mama dan Papa saat masih kecil dulu.

Gue selalu berpura-pura bahagia tentang semua ini. Tapi sekarang biarin gue membagi perasaan gue ke Bella, toh gue percaya sama dia. Gue gak siap kalau terus-terusan nyimpen semuanya sendiri.

Bella hanya diam sambil mengusap-ngusap punggung gue.

"Bell" panggil gue dalam isakan tangis.

"Ia Lucia"

"Gue sayang sama Kevin Bell, gue sayang banget sama dia" kata gue tanpa sadar.

"Kalau lo sayang kenapa gak lo coba maafin dia? Dia gak salah apa-apa Lucia, dia juga orang yang bingung kayak lo." Kata Bella.

Gue melepas pelukan dan menatap Bella.

"Bell, lo tau?" Tanya gue hati-hati

"Kevin udah cerita semuanya. Dia punya kembaran namanya Kelvin. Kembarannya tinggal sama orangtuanya di Indonesia, sedangkan dia tinggal di Amerika bersama Kakek Neneknya.

Kevin juga awalnya gak tau kalau dia masih mempunyai orang tua bahkan kembaran, karna Kakek Neneknya gak pernah cerita sama sekali. Sepertinya hubungan mereka kurang baik.

Sampai pada saat Kevin Menginjak SMP tiba-tiba orang tua dan kembarannya muncul. Dia sempat marah karna selama ini mereka meninggalkan Kevin sendiri. Tapi lama-lama dia bisa menerima kenyataan.

Dan dia juga sama sekali gak tau Lucia, kalau orang tuanya menabrak Mama lo. Dia juga berkali-kali nyalahin dirinya yang menurut gue gak salah sama sekali."

Gue bergetar mendengar cerita Bella. Gue tersadar, Kevin gak salah apa-apa. Bahkan gak ada yang salah sama sekali.
Kematian Mama udah rencana Tuhan, polisi juga bilang ini murni kecelakaan.

Gue menyesal, gue menyesal selama ini marah dengan mereka. Seharusnya gue dan Ayah bisa menerima kenyataan, kalau Mama emang udah seharusnya meninggal.

"Dimana sekarang Kelvin?" Tanya gue pelan.

Bella menarik nafas panjang.

"Dia udah meninggal beberapa bulan yang lalu Lucia, kata Kevin dia sakit keras. Karna itu Kevin disuruh ke Indonesia buat ngurus surat-surat kematian kembarannya. Sekaligus melanjutkan sekolah di Indonesia."

"Ke.. Kelvin meninggal?" Air mata gue kembali meledak.

"Gue salah Bell, gue selama ini benci sama dia. Padahal dia gak salah apa-apa. Dia cinta pertama gue Bell, kita pisah dengan cara yang gak baik. Bahkan gue belum bilang kalau gue juga suka sama dia, gue juga belum minta maaf Bell." Kata gue sambil terus menangis

"Udah Lucia, sekarang yang harus lo lakuin adalah memperbaiki semuanya. Lo gak boleh terpuruk lagi Lucia."

Gue menghapus air mata, dan membayangkan suatu hal.

"Bell ayok ikut gue, gue mau minta maaf ke Kevin. Gue mau bilang gue suka ke dia. Ayok Bell" kata gue semangat sambil turun dari kasur.

"Lucia" Bella menahan tangan gue. Gue menatap ekspresi seriusnya dengan bingung.

"Maaf gue baru bilang ke lo. Tapi Kevin bilang hari ini dia terbang ke Amerika. Dia mau ngelanjutin hidupnya di Amerika aja."

Gue terdiam.

"Dia berangkat jam berapa?" Tanya gue takut.

"Kalau gak salah katanya pesawat jam 09.00"

Gue melirik Jam
|08.45|

"Lucia, lo gak kepikiran buat ngejar dia kan? Bandara dari sini jauh"

"Plis Bell, setidaknya kita nyoba dulu" kata gue sambil menangis, Bella mengangguk pasrah.

Badan gue yang belum sepenuhnya sehat tidak gue hiraukan. Gue berlari memberentikan taxi.

08.50

Jalanan macet, gue cemas. Gue membuka pintu dengan kasar. "Lucia lo mau kemana?" Tanya Bella.

"Udah gak ada waktu Bell, gue harus lari ngejar dia."

Gue pun keluar taxi dan lari, omelan Bella tidak gue hiraukan.

09.15

Gue sampai bandara. Air mata gue berjatuhan setelah memasuki bandara.

Semuanya terlambat, pesawat Kevin sudah lepas landas beberapa menit yang lalu.

Gue terduduk dan menangis, menyesali semuanya. Andai saja gue memberikan kesempatan pada Kevin untuk menceritakan semuanya, andai saja gue mencoba mengerti keadaan, semuanya gak mungkin kayak gini.

Udah cukup gue kehilangan Kelvin, cinta pertama gue. Gue gak mau kehilangan Kevin, orang yang juga gue cintai.

Gue gak mau salah untuk kedua kalinya.

Gue menangis sejadi-jadinya, tidak mempedulikan tatapan heran orang-orang yang melihat gue duduk di lantai sambil menangis.

Bella datang, dan mencoba mengajak gue berdiri. Tapi semuanya mendadak pudar dan gelap.

Gue salah, gue terlambat.

First BoyfriendWhere stories live. Discover now