31 [END]

75.6K 3.1K 58
                                    

Haiiii
Lama ya? Hehe sorry.
Bagi yang lupa harap dibaca ulang part sebelumnya ya.

Jadi sebenarnya penyebab lama update ialah susahnya ngumpulin niat buat nulis. Tapi nyatanya meskipun lama tetap aku usahakan kok buat tamatin ini cerita. (Eh kenapa tamat? Karena biar gak ditagih update lagi. Lol) Dan supaya cepat tamat juga, alurnya sedikit aku percepat ya.

Sebelumnya sorry juga ya kalo mengecewakan, tidak se-wow yang kalian ekspektasikan. But at least i've tried ya know? Jadi biarkanlah begini adanya. Dan ngomong ngomong ini part aku dedikasikan sama kalian yang udah nungguin cerita ini. I love you.

So, this is it!
The last part of the story.
 
 
 

***
 
 
 
Aku mengetuk pintu kamar Devan, namun gak ada jawaban apapun dari dalam sana. Perlahan aku buka pintu itu dan mengintip sebentar sebelum memasuki kamar. Aku heran, gak ada tanda keberadaan Devan disana. Bahkan hanya lampu tidur yang menyala sehingga kamarnya terkesan remang-remang.

"Dev?" Panggilku beberapa kali.

"Sini, aku di balkon." Akhirnya dia bersuara.

Aku pun berjalan menuju balkon kamarnya. Ya, ternyata dia ada disana. Meskipun gelap, tapi aku masih melihat jelas dia tersenyum ke arahku.

"Maaf ya, tadi aku ambil keputusan sendiri. Aku bicara kayak gitu di depan keluargaku karena momennya lagi tepat aja." Ujarnya sambil meremas lembut tanganku.

"Hmm." Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Sejujurnya aku belum bisa sepenuhnya maafin dia. Mungkin pernikahan memang hal familiar buat dia. Tapi buat aku, hal seperti itu masih sangat asing.

"Kalau kamu pikir aku sembarang nikahin kamu, itu salah." Devan menatapku sejenak kemudian dia mulai mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Aku lumayan kaget ternyata sesuatu itu berwujud kotak kecil beludru berwarna merah maroon. "Aku beli ini sebelum pergi ke US, sebelum kamu kabur ke Semarang. Ya, aku udah merencanakan semuanya dari jauh hari. Tapi jadi berantakan gara-gara kamu."

Kalimat terakhirnya tadi cukup membuatku malu. Ya, akulah memang sumber trouble maker dari semuanya. Bukan Katya ataupun yang lain. Cuma aku yang gak bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. "Uhm, sorry." Gumamku tanpa sadar.

"Mungkin hubungan kita masih terlalu singkat, Mit. Tapi aku bukan lagi anak remaja. Aku udah gak pantas lagi buat pacaran yang hanya sekedar untuk mencari jati diri." Dia mulai membuka kotak kecil itu dan muncullah cincin cantik berhias permata di sisi atasnya. Kemudian dia mulai berlutut dihadapanku. "Sebenarnya cara kek gini udah basi banget, kan? Ya kamu tau sendiri lah, aku bukan tipe laki-laki romantis. Aku bahkan gak punya persiapan spesial yang kayak orang lain lakuin waktu ngelamar pacarnya. Tapi yang jelas aku punya satu tujuan. Since the first time i admit that i fell in love with you, I was planning to take you as my wife, as my home, as my best friend, as my partner of everything, and last but not least, as the best mom for Gavin and of course our another kids. Because i love you so much Mita. From the bottom of my heart." dia menarik nafas dan menundukkan kepalanya. Kemudian kembali menatapku. "So... will you marry me?"

Benar yang dia bilang, lamaran ini super sederhana. Aku memang pernah berkhayal jika suatu saat nanti akan ada seorang pria yang melamarku dengan cara yang serba romantis. Dilakukan di suatu tempat yang banyak dihiasi taburan bunga dan lilin-lilin kecil, disaksikan oleh orang banyak, dan juga ada beberapa temanku yang ikut ambil andil. Dan tepat pada saat ini, semuanya jauh dari harapanku. No flowers, no candles, no crowd. Hanya aku dan dia. Namun anehnya hal ini berhasil membuat jantungku berdebar kencang dan diiringi perasaan bahagia yang gak mampu lagi untuk aku jelaskan. Bahkan mataku aja mulai memanas dikarenakan air mata yang rasanya ingin jatuh. Now i do believe, bahagia itu memang sederhana. All that we need is just the presence of someone we love. Then everything will be fine.

Hold Me CloserWhere stories live. Discover now