21. Jangan ambil dia dariku

Start from the beginning
                                    

"Aku tidak akan pergi." keras Mitha dan duduk bersimpuh di lantai tanpa memandang siapapun disekitarnya.

Wanita itu sangatlah sulit untuk diusir dan dijauhkan dari kehidupan Sena. Aku mendengus geli melihat kepercaya diriannya untuk mendapatkan Sena bahkan sudah dipermalukan dengan batalnya pertunangan mereka.

Aku jadi teringat dengan Lauren. Keributan yang ia buat, masalah yang ia timbulkan, tawa khasnya bahkan kekecewaannya saat aku menyakitinya terus-menerus.

Jangan ambil dia dariku, renungku dalam penyesalan ini.

Demian bersama Erlan membawakan minuman hangat untuk kami. Secangkir kopi untuk tiap orang menunggu disini. Erlan memberikan makanan cepat saji pada Indira yang tengah duduk menyandarkan kepalanya ke bahu Sena menahan kantuk, menolak tidak ingin.

Erlan memaksa karena tidak suka melihat Indira menahan laparnya. Demian menyuruh Mitha ikut makan bersama Indira sehingga mereka terpaksa memakannya karena sudah cukup lama menunggu disini. Indira tertidur di bahu Sena, begitu juga Mitha yang menyandarkan diri ke Indira.

Demian memejam mata dengan posisi terduduk sementara Erlan memangku keningnya dengan lengannya, apa dia sudah tidur atau belum aku tidak bisa pastikan. Sena masih keadaan terjaga seperti diriku, memandang lurus ke pintu ruangan itu. Kenapa lama sekali. Bahkan ini sudah hampir dini hari.

"Apa dia bisa selamat ?" tanyaku pada Sena.

"Tentu saja. Kau tidak lihat dia saja bisa mengalahkan beberapa pria sekaligus dengan tangannya sendiri."

Kami tersenyum geli mengingatnya, ia menambahkan, "dia selalu benci dibilang anak kecil karena orang lain melihat tubuh gadis itu kecil. Tapi aku baru sadar sekarang, kenapa dia tidak suka dibilang seperti itu karena ternyata dia punya kekuatan jauh lebih besar daripada orang dewasa pada umumnya."

Aku tertawa perih dalam hati. Kepalaku mendongak ke atas, melihat ke langit-langit, "dia gadis yang kuat." imbuhku masih merapal kata yang diucapkan Indira.

Dan sampai Sena pun tertidur bersama yang lain, aku masih terjaga hingga pukul empat pagi.

Apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar kehilanganmu, Lauren.

*******

Kedua mataku terasa sakit sekali untuk sekedar membuka, cahaya itu sangat sulit untuk diraih agar aku bisa melihat sesuatu yang jelas di hadapanku. Aku tidak bisa mengadaptasi terang menyilaukan kedua mataku yang sayup-sayup berusaha membuka.

Nuansa putih langsung terlihat di pandanganku, aroma obat-obatan menyengat ke hidungku dan dimana aku berada sekarang.

Reihan. Itulah yang bisa ku ingat.

Tenggorokanku terasa kering sekali untuk sekedar menyahut seorang yang memanggil namaku.

"Reihan." susah payah aku menyebutnya akhirnya setelah berusaha melawan rasa perih di tenggorokanku.

Setelah itu aku merasakan ada gerakan beberapa orang mengamatiku dan semua berjalan sesuai keinginan mereka.

*******

Reihan tidak pernah lupa melihat kondisiku terus-menerus bahkan setelah diizinkan untuk pulang. Masa pemulihan sudah terlewati dan dia juga seringkali membawaku untuk ikut terapi klinis sesuai jadwalku. Dia tidak mau ada kegagalan sedikitpun setelah terlewatinya masa kritisku yang menakuti mereka akan kehilanganku.

Sebegitunya kah Reihan mengkhawatirkanku. Reihan terus saja memperingatiku untuk menghabiskan makananku dan meminum obat. Melihatku kondisiku lagi setiap malam sepulang dia kerja. Di siang harinya ia pun bahkan menyempatkan diri untuk pulang hanya melihatku dan mengingatkanku makan siang dan minum obat setelahnya.

Lauren [END]Where stories live. Discover now