Chapter 17

13K 1.2K 69
                                    

Rama turun dari mobil setelah mereka tiba di parkiran rumah sakit tempat di mana ibunya sedang dirawat. Rama melangkah tergesa-gesa meninggalkan Cinta di belakang, menyeret langkahnya sambil memegang perutnya yang membuncit.

"Mas Rama, tunggu." panggilnya. Namun sang empunya nama yang dipanggil terlebih dahulu menghilang di persimpangan koridor rumah sakit.

Cinta menghela napas. Ia sudah tak sanggup ingin berjalan lagi. Betisnya terasa kram, sehingga Cinta hanya mampu melangkah hingga lobby dan duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di sana. Biarlah nanti Rama mencarinya dan menyusulnya di sini. Toh, dia tidak akan ke mana-mana dalam kondisi seperti ini.

"Mau periksa, Mbak?"

Cinta menoleh ke sisi kanannya. Ada seorang wanita muda, yang mungkin seumuran dengannya dan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan wanita muda itu.

"Tidak, Mbak. Saya lagi menunggu suami saya, dia sedang mencari ruangan Ibu mertua saya yang sedang dirawat disini barusan."

Wanita itu mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya. "Nindi. Nama Mbak siapa?" tanyanya.

Cinta melirik sekilas uluran tangan wanita muda itu, sebelum menerima jabatan tangannya. "Saya Cinta."

"O ya, mbak sendiri sedang apa di sini? Ada salah satu keluarganya yang sakit kah?" Cinta bertanya, sekedar berbasa-basi. Tangannya tak berhenti mengusap perutnya yang kembali nyeri sejak dia turun dari mobil tadi.

"Saya ke sini mau menjenguk tunangan saya. Dia dirawat karena radang usus. Tapi jam besuknya sudah habis, jadinya ya duduk di sini saja sementara menunggu jam besuknya dibuka lagi." sahut wanita itu.

Cinta hanya mengangguk. Wajahnya sesekali mengernyit dan suara desisan keluar dari mulutnya ketika perutnya kembali menimbulkan kontraksi palsu.

"Kenapa, Mbak? Perutnya sakit?" Cinta mengangguk. Hanya itu yang mampu dia lakukan karena rasa sakitnya semakin menusuk-nusuk.


"Udah coba diperiksa ke dokter belum? Takutnya ada apa-apa. Aduh, saya kalo masalah seperti ini suka takut, Mbak." kata wanita itu lagi.

Cinta menggeleng. "Saya belum periksa, dan tidak mau diperiksa."

"Loh, kenapa Mbak? Kalau ada apa-apa kan bisa langsung ditindaklanjuti. Bisa cepat diobati." Wanita itu tampak bingung dengan apa yang dikatakan Cinta. Dia merasa heran saja, sudah jelas kalau wanita didepannya itu kesakitan, tapi tidak mau diperiksa.

Cinta hanya tersenyum menanggapinya. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada wanita ini, kan? Memangnya siapa wanita ini bagi Cinta? Mereka baru saja saling mengenal beberapa menit yang lalu di sini.

"Nindi." Wanita itu menoleh ketika namanya dipanggil oleh seorang wanita paruh baya di sana.

"Iya, Ma?" sahutnya.

"Temani Mama ke kantin yuk. Mama belum sarapan, sekalian kamu juga ikut sarapan sama Mama." Ucap wanita itu dengan senyum manis di wajahnya.

"Oh iya, Ma. Tunggu sebentar, ya?"

Nindi beralih menatap Cinta yang tampak bingung melihat mereka.

"Itu calon Ibu mertuaku. Mamanya tunanganku. Ya sudah, saya permisi dulu ya, mau menemani beliau sarapan. Mbak sudah sarapan belum? Kalau belum, yuk kita sarapan bersama."

"Tidak usah mbak. Saya sudah sarapan. Lagipula suami saya sebentar lagi pasti akan menyusul saya ke sini. Nanti dia malah kebingungan lagi."

Nindi terkekeh. Dia lupa jika wanita itu sedang menunggu suaminya.

Bukan Menantu Idaman? ✓Where stories live. Discover now