Chapter 6

13.2K 1.1K 67
                                    

Memasuki awal bulan september ini, hujan turun tak kenal waktu.

Kemarin saat dalam perjalanan pulang dari kantor, Cinta kehujanan. Ia bahkan lupa menyiapkan jas hujan di dalam jok motornya. Ketika ada Rama, pria itu selalu mengingatkannya untuk membawa jas hujan ketika Cinta bersikukuh untuk membawa motor daripada diantar menggunakan mobil.

Ah, Cinta merindukan Rama.

Hari ini sudah berjalan hampir dua minggu mereka tidak bertemu, dan Cinta masih berurusan dengan pihak bank tempatnya bekerja. Meskipun berjauhan dan terkesan tidak memeperhatikan istrinya, Rama tak pernah lupa untuk selalu mengabari Cinta. Selalu menanyakan keadaan Cinta, aktivitas yang dilakukan Cinta seharian, serta makanan apa yang wanita itu santap.

Tapi, sejak dua hari ini Rama tidak menghubunginya sama sekali. Cinta berpikir, mungkin saja Rama sedang sibuk mengurusi restoran yang akan dirintisnya di Surabaya nanti. Cinta tak terlalu memusingkannya.

Akibat kehujanan kemarin, keadaan Cinta sekarang benar-benar drop. Sejak semalam wanita itu meriang, flu dan pagi ini disertai batuk. Bahkan dia tak berkutik sama sekali dari atas ranjang. Tenggorokannya kering, tapi tubuhnya terlalu lemas untuk bangun sekedar mengambil air minum di dapur.

Ponsel Cinta kembali berdering nyaring menandakan ada panggilan masuk. Ini sudah kesekian kalinya ponsel itu berdering. Tapi Cinta benar-benar tak berdaya untuk menjangkau ponsel itu di meja kerja miliknya yang berada di pojok dekat jendela. Itu berarti Cinta harus bangun lagi untuk mengambil ponselnya.

Sedangkan di seberang sana, Dennia sedang mengumpat karena Cinta tak mengangkat panggilannya sama sekali. Ini sudah hampir jam 10 pagi, tapi Cinta tak menampakkan batang hidungnya di kantor. Pak Reno marah besar ketika mengetahui kursi teller masih kosong saat jam masuk. Banyak nasabah yang sudah mengantre untuk bertransaksi. Nasabah mengeluh, protes dan bahkan marah-marah karena mereka tidak mendapat pelayanan dengan segera. Terpaksa saat itu, Bu Andini yang bertugas di bagian dalam kantor, turun tangan untuk menggantikan posisi teller yang kosong.

"Apa Cinta belum juga mengangkat teleponnya?!" Pak Reno kembali datang dan bertanya pada Dennia dengan nada horror.

Dennia jadi gugup, Cinta belum mengangkat teleponnya. Bahkan terakhir ia meneleponnya tadi, ponselnya berada di luar jangkauan.

Mungkin Cinta mematikannya. Pikir Dennia.

"Belum, Pak." jawab Dennia takut.

Pak Reno mendengus kasar. Beliau memang terkenal arrogant ketika berada di kantor. Sebagai Staff HRD manager, beliau memang harus menerapkan kedisiplinan pada karyawan di bawah pengawasannya.

"Jangan-jangan dia kabur lagi. Dia kan belum menyelesaikan prosedur yang harus dia jalani selama masa resign habis." Marah Pak Reno lagi.

Dennia menunduk. Tak berani menatap wajah Pak Reno saat ini. Ah, kalau saja Pak Reno ini tidak pemarah, mungkin Dennia akan berpikir seratus kali untuk membencinya. Ya iyalah, duda keren begitu siapa yang berani nolak?

"Dennia!"

"I..iya Pak? Saya dengar kok." sahut Dennia terbata. Dalam hati, Dennia mengumpat atasannya itu.

"Memangnya apa yang kamu dengar? Saya bahkan belum mengatakan  untuk menyuruhmu mendatangi Cinta setelah pulang dari sini nanti."
Pak Reno berkacak pinggang, menatap Dennia galak.

Dennia menggaruk kepalanya dengan rambut yang tersanggul rapi khas pegawai Bank.

"Aduh, ternyata Bapak mau bilang itu ya, Pak? Baiklah, nanti saya ke apartemen Cinta untuk melihatnya." sahut Dennia diselingi dengan cengiran lucunya.

Bukan Menantu Idaman? ✓Where stories live. Discover now