Pisau Kedelapan

2.1K 38 2
                                    

Baru sekarang Cu Jit-jit tahu bahwa Tio-lotoa ternyata salah seorang pengagum Tiong-goan-beng-siang, melihat belasan lelaki merubung tiba, lekas Jit-jit jambret bahu Tio-lotoa terus dilemparkan ke arah dua lelaki yang memburu datang lebih dulu.

Sudah tentu kedua orang itu tidak kuat menahannya. Tiga orang terguling mencium tanah, sementara orang lain yang memburu tiba jadi kaget dan merandek, tapi Jit-jit lantas menerjang maju.

Kungfu yang pernah dipelajarinya beraneka ragam dan tiada satu pun yang boleh dikatakan mahir, namun untuk menghadapi lawan keroco ini masih cukup berlebihan, seperti harimau mengamuk di tengah rombongan domba, dalam sekejap belasan lelaki itu telah dihajarnya hingga tunggang langgang.

Sudah beberapa hari ini Cu Jit-jit menanggung penasaran, marah, dan takut, sekarang baru dia berhasil melampiaskan kekesalan hatinya, hingga perut lapar pun terlupakan.

Merasa bukan tandingan Jit-jit, orang-orang itu melawan sambil mundur, sementara Jit-jit menghajar sambil mengejar, sebentar saja mereka sudah dekat di depan pintu gerbang.

"Berhenti!" mendadak seorang membentak. Seorang lelaki berperawakan pendek dan kekar berusia 30-an, berpakaian sutra warna hijau berdiri di ambang pintu sambil menggendong tangan, wajahnya kelihatan kereng dan sedang mengawasi Cu Jit-jit dengan aliasnya berkerut, agaknya heran karena Cu Jit-jit dapat menguasai ilmu silat sebanyak itu ragamnya, tapi sikapnya tetap tenang saja.

Melihat lelaki ini, kawanan lelaki tadi berlari dan sembunyi di belakangnya. Cu Jit-jit masih memburu maju dan hendak menjotos, tiba-tiba dilihatnya lelaki kekar ini mengadangnya sambil menjura dengan tertawa, "Sabar, kungfu nona memang mengagumkan."

Tabiat Cu Jit-jit memang senang dilayani secara ramah dan pantang dikasari, melihat orang berlaku sopan, maka jotosannya yang sudah melayang segera ditarik kembali.

Lelaki berbaju sutra hijau tertawa, katanya, "Kawanan hamba itu memang tidak bermata hingga lancang terhadap nona, semoga nona suka mengampuni mereka."

"Ah, tidak apa-apa," ujar Jit-jit, "sudah kenyang juga kuhajar mereka."

Lelaki berbaju sutra melengak, katanya pula, "Sifat nona ternyata suka berterus terang."

"Sifatku ini baik atau jelek?" tanya Jit-jit.

Tidak sedikit orang yang dikenal lelaki ini, tapi gadis sebinal ini belum pernah dihadapinya, sesaat dia melenggong, katanya kemudian, "O, baik ... tentu saja baik."

"Melihat tampangmu ini, tentu kau inilah Tiong-goan-beng-sian Auyang Hi."

"Betul ... entah nona ada petunjuk apa?"

"Kalau kau dijuluki Beng-siang, maka sepantasnya kau meladeni aku dengan baik, makan minum dulu sampai puas, sebab ada urusan penting ingin kuberi tahukan kepadamu."

"Tamu seperti nona biarpun sengaja kuundang juga belum tentu sudi kemari, cuma hari ini ...."

"Hari ini kenapa? Apakah hari ini kau kehabisan uang dan tidak mampu mentraktir aku?"

"Biar kukatakan terus terang kepada nona, hari ini ada seorang saudagar besar kalangan Kangouw, Leng-jiya, beliau telah meminjam tempatku ini, tamu agung dari berbagai penjuru sudah berdatangan, maka Cayhe tidak berani ...."

Berputar bola mata Cu Jit-jit, katanya dengan tertawa, "Dari mana kau tahu bahwa kedatanganku tidak untuk berdagang. Tolong kau bawa aku masuk."

Dengan sangsi Auyang Hi pandang dia beberapa kali lagi, meski pakaian si nona tidak keruan, tapi sikapnya agung dan berani, selagi ragu, Cu Jit-jit lantas melangkah masuk rumah orang seperti rumah sendiri.

Pendekar Baja / A Fanciful Tale of the Fighting World  (Wu Lin Wai Shi)Where stories live. Discover now