Jawaban dari Semua Jawaban (LAST)

500 73 4
                                    

"Pagi, bunda ...," sapaku lesu seraya menggeret kursi makanku. Setelah itu aku duduk diatasnya.

"Pagi juga, sayang. Kok lesu, kenapa?" balas bunda yang masih terfokus pada telur mata sapi yang sedang ia goreng.

Aku melipat tanganku diatas meja."Nggak apa-apa kok, bun," jawabku berbohong.

"Kamu lagi ada masalah?"

"Nggak."

"Yakin, nih? Nggak mau cerita ke bunda?"

"Yakin."

Padahal sebenarnya aku ingin cerita masalah yang tadi malam ke bunda.

Sejujurnya, hari ini aku malas keluar rumah. Aku takut. Aku takut kalau tiba-tiba aku bertemu Alfian lagi di luar sana. Mau ditaruh mana mukaku kalau aku berhadapan lagi dengan dia?

Aku memotong roti isi telur mata sapi di depanku dengan tidak bertenaga. Terlalu lemah diriku sampai-sampai memotong roti saja tidak bisa.

"Kok nggak dihabisin roti sama telurnya?" tanya bunda, heran begitu melihat aku langsung beranjak dari meja makan tanpa menghabiskan sarapanku.

"Acha nggak laper, bun. Acha mau keluar bentar."

Aku tahu, tempat mana yang harus kudatangi saat ini untuk menjernihkan pikiranku.

-0-0-0-

Semilir angin sore begitu terasa menyejukkan bagiku. Kakiku masih terus mengayun-ayun tubuhku diatas ayunan yang kududuki.

Ini tempat yang aku butuhkan.

Tempat dimana semua bebanku bisa hilang tertiup angin sore yang sejuk. Tempat favoritku sejak kecil dulu.

Dulu aku sering kesini bersama Maya. Ya, asal kalian tahu, aku dan dia sudah bersahabat sejak kecil. Kami sering menghabiskan waktu sore kami sepulang sekolah disini hanya untuk sekedar bermain ayunan yang kini kududuki.

Ayunan yang menjadi saksi perjalanan persahabatan kami berdua.

Tapi yang ada sekarang malah kebalikannya. Kami justru berjauhan hanya karena memperebutkan satu cowok yang konyol dan brengsek seperti Alfian.

Ah, mengingat nama itu membuat emosiku tersulut lagi. Sudahlah, lupakan saja Alfian. Toh, aku sudah jujur kepadanya. Rasanya lega, perasaanku bisa tersampaikan, meski sebenarnya bukan cara seperti itulah yang kuinginkan.

Kalian harus tahu, aku ini bukan tipikal cewek yang langsung blak-blakan menyatakan perasaanku ke cowok yang aku sukai. Aku juga tidak suka mengode apa pun ke orang yang kusukai.

Tapi kalau akalku sudah kehilangan arah--misalnya seperti tadi malam--semuanya bisa berubah. Aku bisa jadi cewek yang liar dalam hal perasaan.

"Ngegalau mulu kerjaannya."

Aku menoleh kebelakang. Mataku menangkap sesosok Alfian tengah berdiri di belakangku dengan kedua tangannya yang terjejal di saku.

Ngapain dia disini?

"Gue kesini cuma mau ngelurusin semua kesalahpahaman lo," ucapnya, seolah dia bisa membaca pikiranku.

Aku tersenyum mengejek setelahnya dan menampakkan raut sok jijik."Apa kata lo? Salah paham?"

"Iya. Selama ini lo salah paham, Cha. Cara berpikir lo itu salah sama kenyataan yang ada."

"Salah? Darimana lo tau kalo gue salah?" 

"Cha, dengerin gue. Gue belom selesai. Lo tau, kemaren malem Maya--" Belum selesai ia berkata, aku sudah menyelanya duluan.

"Ya ya ya. Gue tau. Maya nembak lo. Dan lo nerima dia. Tanpa lo omongin pun gue udah tau arah pembicaraan lo pasti ke Maya. Maya, Maya, dan Maya. Cuma dia yang ada di otak lo."

vanilla caramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang