Sign?

530 80 20
                                    

Note: Biar nggak bingung, sebenernya Maya sama Acha itu nggak sekelas, itu sebabnya Acha baru beritau Maya via line kalo Alfian nyariin dia kemarin sore:)

-0-0-0-

"Cha, sebenernya gue udah mau bilang ini sejak lama. Tapi gue takut."

Suasana cafe mendadak riuh. Semua pelayan dan chef di café itu menyoraki kami berdua.

Ia berjalan mendekatiku. Langkahnya terlihat pasti. Meski ada sedikit kegugupan yang tercetak di wajahnya.

Ia meletakkan secangkir kopi dan sepiring cupcake dengan saus vanilla caramel sebagai topping diatas meja café . Setelah itu, ia kembali bersuara.

"Cha, liat kopi ini," perintanya halus."Liat baik-baik."

Aku melihat cangkir kopi itu dengan seksama. Kulihat dia menghias kopi itu dengan teknik coffee art yang dimilikinya. Aku kaget ketika ia menuliskan sesuatu diatas kopi itu.

Are you ready to stay in my heart?

Jantungku langsung berdegup kencang begitu melihatnya. Ditambah lagi, ternyata dia telah menyiapkan sebuket bunga lili kesukaanku. Sebuah senyuman tercetak di wajah tampannya itu.

"Jadi ... Gimana jawaban lo, Cha?" tanyanya dengan nada berharap.

Aku bingung. Sungguh aku sangat bingung. Tapi akhirnya aku tahu, apa jawaban yang harus kuberikan kepadanya.

"Gue ..."

Begitu aku ingin menjawabnya, tiba-tiba sebuah suara memanggilku.

"Acha, bangun sayang, sekarang udah pagi."

Aku bangun seketika. Mengedarkan pandanganku ke lingkungan sekitar dan mendapati bunda ada disitu.

Oh, ternyata yang tadi itu cuma mimpi.

"Kebiasaan lagi ya, bangunnya siang," omel bunda seraya membuka tirai jendela kamarku."Udah jam berapa? Kamu belum shalat, kan."

"Ha?"

Aku buru-buru melihat jam. Astaga, ternyata sudah jam setengah enam. Sedangkan aku sendiri belum menunaikan shalat subuh.

Langsung saja aku berlari ke kamar mandi untuk wudhu. Setelah itu, aku mengambil peralatan shalatku di almari dan memakainya. Barulah aku menunaikan shalat subuh dengan khusyuk setelahnya.

Selesai shalat subuh, aku merapikan tempat tidurku, mandi, dan keluar dari kamar untuk sarapan pagi bersama.

Selama sarapan, aku memilih untuk bungkam. Tidak seperti Acha yang biasanya selalu mengoceh tiada henti, entah itu tentang sekolah atau sekedar membicarakan tingkah konyol Maya di sekolah.

Aku terus kepikiran. Kepikiran mimpi yang kualami semalam. Mimpi yang aneh dan sangat mustahil untuk menjadi kenyataan.

Di mimpi itu, dia menyatakan perasaannya kepadaku secara terang-terangan. Hal yang sangat tidak realistis jika kupikir. Dia kan menyukai Maya, bukan aku. Kenapa di mimpi itu harus aku yang ditembak? Kenapa bukan Maya atau cewek lain saja?

Yah, itu memang kedengarannya aneh. Apakah ini sebuah pertanda? 

Tentu saja bukan. Itu bukan pertanda bagiku. Mimpi itu pasti hanyalah imajinasiku yang terlalu tinggi tentang dia. Dan satu lagi, dia sudah menyukai orang lain, yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatku sendiri. Jadi aku yakin 100% mimpi itu tidak akan terealisasikan di dunia nyata.

-0-0-0-

Me: May, kemarin sore Alfian nyariin lo.

Maya: Oh itu. Iya gue udah tau kok. Dia nge-line gue. Dia cuma mau ngasihin undangan ultahnya ke gue sama mastiin kalo mobil gue udah beres apa belum.

Maya: Btw, undangannya lo bawa kan? Besok pas hari H kasihin ke gue, ya.

Me: Iya, gue bawa undangannya. Tenang aja, nggak bakal ilang kok. 

Aku mengalihkan pandanganku dari layar ponsel ke sebuah benda yang tergeletak di atas meja belajarku. Aku pun bangkit dari kasur, dan mendekati meja belajarku. Tanganku meraih sepucuk undangan yang berada diatas meja itu dan membacanya.

Itu undangan ulang tahun ke-18 Alfian. Pesta tersebut diadakan besok Sabtu. Aku harus datang. Ya itu harus. Karena kemarin aku sudah berjanji padanya untuk datang. Meskipun aku tahu ujung-ujungnya yang kudapat pasti rasa sakit.

Drrtt.

Tiba-tiba ponselku bergetar, menandakan bahwa ada chat yang masuk. Betapa kagetnya diriku ketika tahu kalau si pengirim adalah Alfian.

Alfian Arkhanandri: Acha?

Me: Ya? Ada apa, Al?

Aku menunggu balasan darinya selama beberapa menit. Tak lama kemudian ia menjawab.

Alfian Arkhanandri: Besok Sabtu lo dateng kan ke ultah gue?

Me: Iya, Al. Gue pasti dateng kok:)

Alfian Arkhanandri: Oh. Ya udah, soalnya ortu gue ngarep banget lo dateng, Cha.

Mataku membelalak membaca chat-nya barusan. Tunggu ... Kenapa orang tuanya sangat berharap kalau aku datang? Bukankah aku dan Alfian cuma teman?

Kenal saja baru kemarin.

Masa iya ...

Aish, pikiranku memang terlalu tinggi. Mana mungkin itu terjadi. Dia kan menyukai Maya, bukan aku.

Demi mengusir pikiran-pikiran anehku itu, aku pun memutuskan untuk belajar dan mengerjakan peer kimia untuk minggu depan.

Tapi tetap saja, aku tidak bisa konsentrasi belajar. Karena benakku masih digelantungi oleh pertanyaan-pertanyaan aneh tentang dia. Mulai dari mimpi sampai chat kami yang tadi.

Apakah ini benar-benar sebuah pertanda? Tapi kalau iya, pertanda untuk apa?

Kamis, 14 Januari 2016.

-0-0-0-

Minggu, 11 September 2016.

a/n:

Jangan sedih kalo makin lama cerita ini makin abal:)

Salam terhangat,

tazkiyaa.

vanilla caramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang