[12]

5.3K 503 34
                                    

Ingin sekali kulemparkan bom molotov ke wajah Martijn malam itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ingin sekali kulemparkan bom molotov ke wajah Martijn malam itu.

Dia baru tiba di apartemen kami pukul sembilan malam. Padahal aku sudah meneleponnya siang tadi agar ia tiba di rumah pukul tujuh.

"Sekarang kita terlambat!" teriakku di depannya yang baru selangkah masuk ke rumah.

"Terlambat apa?" tanyanya, entah sedang berpura-pura tolol atau tidak.

"Pesta Cameron! Fontainebleau! Aku sudah meneleponmu tadi siang!"

Martijn bergeming, menatapku tanpa rasa bersalah. Ia lalu melepas sepatu dan berkata, "Oh, pesta itu," kemudian berjalan seperti zombie ke kamar pakaian.

Aku mengejarnya dan melompat-lompat kesal. "Mengapa kau sesantai ini? Kau mau kubunuh ya?"

Martijn mengambil pakaian dari dalam lemari dan berjalan melewatiku begitu saja. Kedua matanya sayu. Ia memasuki kamar mandi, membuatku terpaksa memarahinya dari luar.

"Kau sungguh menyebalkan! Apa kata teman-temanku kalau aku tidak datang? Coba bayangkan kalau kau sendiri yang mengalami ini!" teriakku. Terdengar suara shower yang memancarkan air.

"Oh, oh, oh, it's magic~" Suara Martijn yang sedang melantunkan lagu terdengar redam—dan bahagia. Kuhujani pintu tak bersalah di hadapanku dengan pukulan.

"Bagaimana kau bisa begitu bahagia saat aku memarahimu?!" teriakku, hingga rasanya paru-paruku ingin meledak.

"OH, OH, OH, IT'S MAGIC~" Nyanyian Martijn terdengar lebih keras—dan memaksa. Kuputar kenop pintu berkali-kali tetapi dikunci.

"Hei, hei! Jangan lakukan itu! Aku kan sedang mandi!" teriaknya dari dalam.

"Kalau kau keluar, kucekik kau hingga lehermu lepas!"

"Kalau aku tidak keluar, kau akan ke Fontainebleau sendirian!" pekiknya. Aku terpaksa diam.

Sesaat kemudian, Martijn keluar dari kamar mandi mengenakan over sized T-shirt dan celana panjang jins. Semuanya berwarna hitam. Diusapnya rambutnya yang basah dengan handuk putih. Ia menatapku sekilas kemudian memandang cermin.

"Kau akan ke pesta dengan wajah sejelek itu?" ujarnya, sambil mencolek minyak rambut dari wadahnya. Ia menatapku yang berdiri di belakangnya melalui cermin.

"Sudah terlambat," kataku kesal.

"Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?" Martijn mengusapkan minyak rambut ke rambutnya dan mulai menatanya dengan sisir.

"Mengapa kau tega? Aku kan bilang kalau kau harus pulang pukul tujuh!"

Martijn berbalik dan menghela napas pendek. "Aku punya ayah yang harus ditolong di tokonya."

Aku tidak bisa marah saat ia mengatakan hal itu.

Ia melanjutkan. "Aku ingin pulang pukul tujuh tadi, tapi Ayah sedang tidak enak badan. Jadi aku membantunya hingga toko benar-benar tutup," ujarnya. "Kurasa karena faktor usia. Aku mengantarnya pulang juga tadi."

Boyfriend with Benefits Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang