[2]

11.2K 721 72
                                    

Hal yang paling kubenci dari mengunjungi alun-alun adalah keramaian yang tercipta di sana. Seakan Tuhan mengolah banyak sekali manusia kemudian menumpahkannya begitu saja ke sepotong lahan yang menjadi pusat bisnis negara ini. Mulai dari penduduk lokal hingga pelancong, semua berbaur menjadi satu, entah berdagang, bersantai, atau mencari uang dengan berbagai macam seni. Keramaian itu pun akan berlipat ganda terutama saat hari Minggu.

Dan hari ini, sialnya, adalah hari Minggu.

Di musim panas.

Seakan tidak ada hal yang bisa membuat hari lebih sesak dan beringsang ketimbang semua itu.

Crop top dan hot pants yang kukenakan pun tak cukup untuk menangkal gerah—aku mulai berpikir untuk mengenakan bikini ke tempat ini kapan-kapan—sedangkan kedatanganku ke bangunan pertama saja sudah membuatku amat kerepotan. Dilanjutkan dengan bangunan kedua, ketiga, keempat, aku semakin dibuat kerepotan lagi karena para penyewa berotak kikir itu mengira kalau aku hanyalah seorang penipu. Setelah meyakinkan mereka dengan segala kemampuan, akhirnya aku melanjutkan tugasku ke bangunan-bangunan selanjutnya.

Matahari tak lagi tampak di horizon ketika aku mengunjungi bangunan terakhir yang letaknya di ujung jalan. Aku berdiri di hadapan bangunan itu sejenak, kelelahan, dengan kedua sendi lutut hendak meleleh. Bangunan itu adalah sebuah toko.

Toko tersebut diterangi dengan penerangan seadanya di bagian depan, dengan plang bertuliskan Gerard's yang dihias dengan ornamen-ornamen keju terpampang di atas pintu masuk. Dari luar, semua orang bisa melihat keadaan di bagian dalam melalui dinding-dinding kacanya yang kusam. Benar-benar sepi mengalahkan sunyinya pemakaman. Tak ada toko lain di alun-alun yang sesunyi itu. Aku mendorong pintu dan sebuah bel bergemerencing.

Bukannya disambut dengan bau keju, hidungku justru mengendus aroma lain yang lebih menyenangkan. Aroma cokelat. Entah asalnya dari mana, tetapi kuyakin dari pintu masuk—karena aroma itu berakhir begitu aku melangkah lebih jauh ke dalam. Kini yang terhirup adalah bau toko keju yang sesungguhnya.

Toko ini tidaklah luas, dengan kotak-kotak kaca yang disusun membentuk huruf U. Tidak semua kotak kaca itu terisi, bahkan beberapanya malah berselimut debu. Pada bagian kiri dan kanan dinding, terdapat rak-rak yang diisi dengan beberapa makanan olahan keju, yang dikemas dengan apik namun kurang menarik. Aku mendekati meja kasir dan kembali melihat-lihat. Lampu gantung di toko ini masih berfungsi dengan baik tetapi amat kolot.

Seorang pria berkepala ubanan muncul dari pintu belakang, kemudian melangkah mendekat. Di lengannya tersampir selembar kain lap bersih. Senyuman mencekah lebar di wajahnya saat melihatku. Dia kelihatan baik.

"Apa yang gadis cantik ingin beli di tokoku ini?" tanyanya sambil menatapku. Nada bicaranya amat ramah.

"Oh, aku datang kemari bukan untuk membeli sesuatu," jawabku seraya mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas. Kusodorkan benda itu padanya. "Aku hanya ingin Anda mengisi kertas ini."

Pria itu mengamati kertas di tangannya dengan kening mengerut. Sekejap kemudian ia kembali memandangku, dan kupikir ia akan mengataiku penipu—seperti yang dilakukan para penyewa bangunan yang kudatangi sebelumnya. Namun ternyata dugaanku salah.

"Martijn! Martijn! Kemarilah!" serunya. Ia memiringkan kepala, memandang ke belakangku. Otomatis aku menoleh mengikuti arah pandangnya, dan tahulah aku mengapa pintu masuk toko ini berbau cokelat.

Dari balik kotak kaca sebelah kiri di dekat pintu masuk, muncul seorang lelaki muda dengan rambut cokelat bergelombang. Ia berjalan mendekat sambil membersihkan kedua tangan dengan kain lap. Jantungku tiba-tiba berdentum-dentum bak pengeras suara bervolume tinggi. Terutama ketika aroma cokelat dari tubuhnya menguar menguasai udara di sekitarku.

Boyfriend with Benefits Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang