How a Rumour Ruins Your Day

4.8K 384 20
                                    

Wyns duduk bertopang dagu sembari memandang ke luar jendela mobil Raiden. Ia bukannya tidak melihat siapa yang berdiri di depan gedung apartemennya saat ia dan Raiden meninggalkan tempat itu.

Andrea. Pria itu terlihat baik-baik saja, terlihat masih sehat dan tetap sangat tampan. Jadi kenapa Wyns harus memikirkannya, apalagi merasa tidak enak? Karena Raiden? Astaga, yang dilakukan Andrea --mengabaikannya-- jauh lebih kejam daripada Wyns yang duduk semobil bersama Raiden.

Raiden sendiri menyadari perubahan suasana hati Wyns. Wanita itu tiba-tiba diam, tidak jadi mengomel. Ia tahu penyebabnya. Pria ikal yang berdiri di depan gedung apartemen Mr. Morris. Astaga, memangnya Raiden buta atau tidak peka sehingga tidak bisa menghubungkan benang merah di antara mereka bertiga.

Mungkin kejadian begini; Wyns dan Andrea saling menyukai, tapi tidak mau mengakui perasaan masing-masing. Mereka terlalu egois dan salah satu dari mereka memutuskan untuk pergi --Raiden menduga yang memutuskan untuk pergi adalah Wyns. Lalu datanglah dirinya, sebagai oasis di hati Wys yang kering kerontang. Bercanda. Ia datang di antara mereka karena satu dan dua urusan, tetapi Andrea mengira Raiden sedang menggoda Wyns dan Wyns merasa tergoda untuk kemudian mau dibawa pergi bersama.

Skema yang menarik, bukan? Atau setidaknya begitulah yang berkeliaran di kepala Raiden.

"Kita mau kemana sekarang?" Tanya Raiden, mencoba mencairkan suasana.

"Kemana saja." Jawab Wyns sekenanya.

Raiden tersenyum jahil, menyerupai seringai. "Motel? Hotel? Atau apartemenku?"

Wyns mendengus. "Kau benar-benar ingin kuhajar, ya?"

Dan Raidenpun tertawa. "Aku bercanda, Allard." Ujarnya. "Omong-omong, kau tadi memanggilku Rai." Imbuh Raiden.

Wyns menoleh cepat. "Tidak, tuh."

"Ya, kau melakukannya."

"Tidak! Aku tidak melakukannya!"

"Oh, kau amnesia sekarang?" Tuding Raiden.

Wyns terdiam. Tampak berpikir. Kapan ia memanggil Raiden dengan 'Rai'? Sepertinya tidak pernah. Ia pasti cuma mengada-ada.

"Oke. Kalaupun iya, memangnya apa yang spesial soal itu?" Tanya Wyns mengalah.

Raiden menyeringai. "Tentu saja spesial. Itu artinya kau telah menjadi salah satu orang terdekatku."

"Aku apa??" Sergah Wyns.

"Aku tahu kau mendengarnya, Wyns." Balas Raiden.

Wyns mendengus. "Aku bukan orang terdekatmu. Tidak akan pernah menjadi orang terdekatmu. Jadi sebelum kau salah paham, mari kuberitahu. Kau dan aku adalah musuh. Kau mengerti? Mu-suh!"

"Secara praktis kau adalah ibu dari putriku." Sanggah Raiden. Matanya fokus ke jalanan, tapi ia bisa merasakan Wyns sedang menatapnya seperti burung bangkai mengincar mangsa.

"Dengar, ya. Aku tidak pernah--"

"Tidak pernah apa?" Sela Raiden. "Tidak pernah menginginkannya? Oh, dear Wynstelle Allard, kau baru saja menyakiti hati putriku yang lembut dan murni, kau tahu." Sambung Raiden dengan nada dramatis.

Wyns berjengit. "Berhenti bicara omong kosong, bodoh." Pungkas Wyns.

Raiden tersenyum geli.

"Kau tahu, aku benci berada di situasi ini. Selalu terlibat perdebatan denganmu. Memangnya kau ini tidak capek terus mengganggu?" Komentar Wyns.

Raiden tertawa kecil. "Kau berpikir begitu? Manisnya..." tukasnya sambil mengembangkan senyum andalannya yang --sialnya-- memang manis dan memikat.

Ange Déchu | Book 01Donde viven las historias. Descúbrelo ahora