Three

12.9K 938 104
                                    

{Leo pov}

Hening. Aku maupun Fefe tak ada yang membuka percakapan. Kami sibuk dengan semilir angin malam yang menerpa tubuh kami.

Nyaman. Walaupun aku membenci wanita yang saat ini berada dipelukanku tapi aku tak mau berdusta bahwa aku sangat nyaman dengan keadaan memeluk pinggangnya seperti ini.

Aku menghirup anak rambutnya. Aroma stroberi menusuk indra penciumanku. Ntah mengapa aroma stroberi milik Fefe menjadi kesukaanku. Mulai hari ini aku mengakui bahwa aku menyukai aroma rambutnya.

"Bagaimana keadaan gadis itu?" Fefe membuka suaranya.

Gadis itu? Siapa yang dia maksud. Mentari?

Fefe mendongakan kepalanya. Manik matanya menatap mataku. Kami saling berpandangan. Dia menuntut jawabanku atas pertanyaannya barusan.

"Tadi pagi panasnya sangat tinggi. Tapi saat ini dia sudah lebih baik. Nafsu makannya juga sudah lebih baik." Ucapku menjawab pertanyaannya.

Fefe bergumam pelan. Sepertinya dia tak berniat menjawab atau bertanya lagi.

"Tadi Mama menanyakanmu. Katanya sudah lama kita tidak kesana." Ucap Fefe.

"Kamu pergi kesana hari ini?" Tanyaku. Fefe mengangguk mantap.

"Sudah lama aku tidak berkunjung kesana. Dylan membuat masalah lagi." Ucapnya. Dan aku yakin dia sedang tersenyum sambil membayangkan adik laki-lakinya itu.

Dylan. Adik iparku itu memang memiliki otak yang cerdas serta wajah tampan. Sikapnya dingin ketika bersama orang lain. Sama seperti Daddy Nico. Namun ia tetaplah anak remaja yang baru mencari jati diri.

Beberapa kali aku mendengar cerita dari Fefe bahwa anak itu berbuat ulah. Misalnya terlambat pergi ke Sekolah, tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan lain-lain. Dia selalu punya cara sendiri. Ntahlah sifat kedua orang tuanya yang mana itu hingga menurun padanya seperti itu.

"Kali ini apa?" Tanyaku sambil mengeratkan pelukan kami.

"Terlambat." Ucapnya singkat.

"Bukankah sudah ada penemu jam ber-alarm sekarang? Adikmu itu hidup dijaman batu?" Candaku.

Fefe terkekeh, "Dylan memang begitu. Dia tidur larut dan selalu bangun kesiangan."

Aku terkekeh kecil.

Fefe melepaskan pelukan kami. Hampa, rasanya hampa.

"Mau aku siapkan air hangat?" Tanyanya lembut. Aku mengangguk perlahan.

Fefe segera berjalan meninggalkanku seorang diri. Langkahnya terkesan dingin dan angkuh. Tapi begitulah Fefe. Wajahnya terlihat dingin. Tetapi aku akui ia memiliki kecantikan yang luar biasa.

Lingerie yang ia gunakan terlihat sangat pas ditubuhnya. Lingerie itu juga cocok berada dikulit putihnya. Astaga!!! Aku bisa gila..

Pusat tubuhku menegang. Sialan!

Dengan segera aku berlari mendekati Fefe yang hampir meraih handle pintu kamar mandi.

Aku membalikan tubuhnya. Mencium bibirnya ganas. Fefe kaget terbukti dengan tubuhnya yang langsung membeku seketika. Aku tidak perduli.

Aku menjilat serta mengigit bibir atas dan bawahnya. Menikmati manis bibir yang menjadi kesukaanku.

Tanpa menunggu lama kedua tangannya berada dileherku. Menekan leherku agar pagutan kami tak terlepas. Aku merindukannya. Aku merindukan wanita yang aku benci. Hahaha

Jemariku mengelus pinggangnya. Dengan hati hati aku membuka knop pintu kamar mandi. Masih dengan pagutan kami. Bibir kami saling berpagut satu sama lain.

Black PearlWhere stories live. Discover now