One

12.6K 912 17
                                    

{ Fefe pov }

Dengan hujan yang masih deras mengguyur kota ini. Aku sendiri tak tau mau kemana. Aku sudah membawa mobil ini berputar-putar membelah jalan. Air mataku masih menganak sungai. Mengalir dengan begitu derasnya. Aku tidak mengingingkan air mata sialan itu mengalir. Sungguh.

Tari sialan! Gadis miskin sialan! Dia adalah penghancur segalanya.
Leo sangat mencintainya. Mengapa bukan aku yang dia cintai?

Sempat berfikir untuk pergi ke Rumah Mama, tetapi tidak mungkin dengan keadaanku yang seperti ini. Mama dan Daddy akan bertanya-tanya penyebab keadaanku. Dan aku tidak cukup menyukai pertanyaan-pertanyaan menyangkut pernikahanku dan Leo. Sebab pernikahanku dan Leo tidaklah cukup baik untuk diceritakan dengan kejujuran. Kami hanya akan bercerita dengan bumbu kebohongan.

Dan satu-satunya tempat yang dapat aku datangi adalah apartemen Livi (Anak Brian dan Angel). Ntah mengapa gadis itu tidak pernah mendesakku untuk bercerita mengenai pernikahanku dan Leo. Dia seolah sudah mengetahui semuanya. Ntah bagaimana dia tau aku tidak perduli.

Dengan segera aku membelokan mobilku menuju kawasan apartemen elit. Dengan asal aku memarkirkan mobilku kemudian segera turun. Aku hanya mengenakan kaos biasa serta celana pendek, rambut yang aku gulung asal serta sandal rumah berwarna merah muda. Aku tidak perduli pandangan orang yang menatapku dengan aneh.

Aku naik ke dalan lift, kemudian menekan angka 15. Itu lantai dimana Livi berada. Aku sudah tak sabar untuk berbaring dimana saja. Ntah sofa ntah kasur. Kepalaku sudah cukup pening karena aku menangis berjam-jam sambil menyetir.

*ting tong*

Aku menekan bel berulang-ulang dengan tak sabaran. Aku yakin Livi akan memarahiku setelah ini. Tetap dan selalu, aku tidak perduli.

"Ya Ampun.. tunggu sebentar." Ucap Livi dari dalam.

Pintu itu terbuka. Menampakan Livi dengan piyama tidurnya dan mata yang masih mengantuk. Livi menatapku heran.

"Kak Fefe?" Ucap Livi bingung.

"Kakak boleh menginap disini?" Ijinku.

Livi mengedipkan matanya berulang kali. "Kakak ada masalah?" Tanya Livi. Tanpa memperdulikan pertanyaan serta ijinnya aku segera menggeser tubuh langsing Livi kemudian segera masuk ke dalam apartemen mewah itu.

Aku menghempaskan tubuhku pada sofa empuk yang tersedia diruang keluarga mewah apartemen Livi ini.

"Kamu jelas tau aku tidak suka menceritakan masalahku kan, Vi?" Ucapku pada Livi.

Gadis yang umurnya masih menginjak dua puluh tahun itu mengangguk kepadaku. Kemudian Livi duduk disampingku. "Kakak mau minum coklat hangat? Diluar hujan deras. Walaupun kakak tidak basah, tapi aku yakin kakak kedinginan. True?" Livi memang lebih mengerti aku daripada Dylan.

Aku mencubit pipinya gemas, "Kamu memang selalu mengerti kakak." Ucapku. Livi tersenyum menampilkan lesung pipinya kemudian berdiri dan berjalan menuju dapur.

Seketika aku melupakan masalahku.
Aku mengamati apartemen mewah yang ntah bagaimana bisa Pipo mengijinkan pertamanya itu untuk tinggal seorang diri disini. Aku jelas mengetahui konflik yang terjadi antara Mimo dan Pipo ketika Livi meminta ijin untuk tinggal diapartemen ini dengan alasan lebih dekat dengan kampusnya. Memang kenyataannya begitu. Tetapi aku tetap tidak mengerti alasan Livi sesungguhnya. Karena jujur saja aku tidak mempercayai alasan basinya itu.

"Ini kak.." Livi datang dengan secangkir coklat hangat buatannya.

"Makasih" Ucapku singkat kemudian segera menyeruput coklat hangat itu perlahan.

Black PearlWhere stories live. Discover now