Darkle

783 59 15
                                    





Pagi ini sangat cerah.

Karra tersenyum lebar. Sekarang dia tak perlu khawatir akan turun hujan. Sudah beberapa hari ini selalu turun hujan dan Karra harus rela berbasah-basahan ria, karena tidak mempunyai payung lipat.

"Gak perlu belajar, nilai lo mah pasti bagus, Karr!" ujar Riya sambil menutup buku B. inggris yang sedang Karra baca. Karra memicingkan matanya tajam.

"Emang gue, elo?!" sahut Karra ketus, tapi Riya tau itu cuma bercanda. Hari ini ada tiga UH. B.inggris, sejarah, dan kesenian. Walaupun nilainya di atas rata-rata, tapi dia selalu kalah dengan Aga ataupun Leon, terutama matematika, Leon selalu dapat nilai tinggi.

"Oya, kesenian kita ngapain, Karr?" tanya Riya antusias. Karra berpikir sejenak. Dia baru ingat bahwa UH kesenian adalah mementaskan sesuatu ke depan kelas. Dan tugasnya sebangku, tapi dinilai perorangan.

"Kita baca puisi duet aja kali yah? Nanti gue buat puisinya." usul Karra. Riya mengangguk setuju. Lalu Karra memandang kearah pintu masuk kelas. Seperti biasa, dia melihat Leon yang baru datang dengan gaya santainya. Saat pandangan mereka bertemu. Karra tau, mata Leon tersenyum kearahnya.

Cowok itu membanting tasnya ke meja. Lagi-lagi dia membuat Aga geram oleh kelakuannya. Semalaman Aga tidak bisa tidur dan sekarang Leon mengganggu tidur paginya. "Dicari Vania!" seru Leon.

Tanpa memedulikannya lagi, Aga langsung keluar menemui Vania. Dia tau, Vania pasti mau bahas yang semalam.

Sejujurnya dia sangat penasaran dengan sikap Vania yang tiba-tiba memberikan sesuatu padanya, maksudnya, memberikannya lewat orang lain.

"Van.."

Aga mendapati Vania yang duduk dikursi panjang di depan kelasnya. Vania berdiri dan tersenyum lebar.

"Kamu udah terima yah?" ujarnya sumringah, "Makasih.." kata-kata itu muncul ketika Vania melihat handband pemberiannya dipakai oleh Aga.

"Kenapa lo yang bilang makasih?" tanyanya heran. Vania menarik tangan Aga untuk duduk didekatnya.

Ia menatapnya serius.

"Aga, makin lama aku makin ngerasa kalo kamu risih sama sikap aku yang terlalu over ke kamu. Maaf yah.. sekarang aku gak akan kok begini-begini lagi. Harusnya aku ngerti kalo kamu gak nyaman. Aku gak boleh egois dan maksain kehendak aku. Sebenernya aku begini cuma karena gak mau dibilang 'temen' sama kamu.. menurut aku HTS lebih mulia ketimbang orang-orang bilang aku 'temen' kamu. Leon yang sebegitu deketnya sama kamu aja, kamu gak anggap dia 'temen' kamu. Apalagi aku? Aku gak mau orang nyebut aku 'gak dianggap' tapi aku seneng bisa jadi orang yang segini deketnya sama kamu.." Vania menarik nafasnya. Dia mencoba untuk tidak mengeluarkan air matanya di depan Aga.

"Van.. gak usah minta maaf, gue yang salah. Semaleman gue mikirin ini terus. Dan begonya gue baru sadar lo sebegininya sama gue. Gue gak pernah mau jadi orang jahat.. tapi semua orang anggep kayak gitu, mungkin termasuk lo hari ini. Gue gak pernah mau nyakitin siapapun, tapi nyatanya gue nyakitin lo.. seumur hidup gue gak pernah pacar-pacaran. Dan gue gak mau lakuin itu kalo cuma buat nyakitin orang. Dari dulu cuma lo yang deket sama gue kan, Van? Gue pikir cukup dengan lo butuh gue, gue ada, dan sebaliknya, tapi ternyata hubungan semacam itu malah bikin lo sedih—"

"Dari dulu sampe sekarang.. orang yang paling aku anggep baik cuma kamu dan Faiz, Ga, kamu liat sendiri aku gak punya temen cewek. Mereka semua merasa gak pantes temenan sama aku, seleranya beda lah, tempat jalannya beda lah, segala macem. Padahal aku bisa main sama siapa aja, mereka malah minder, sampai akhirnya aku ngerasa sendirian. Dan kesendirian itu bikin aku jadi ketergantungan sama kamu, karena aku gak punya teman berbagi, sampe akhirnya aku kayak menghalang-halangi hidup kamu. Entah buat naksir cewek lain, deket sama mereka atau apapun. Aku sadar, Ga, harusnya aku gak begitu.." Vania menunduk, berkali-kali ia berusaha menahan tangisnya untuk tidak pecah.

I Will be HereWhere stories live. Discover now